Aku masih mengantuk dan lelah karena semalam begadang mengerjakan tugas kuliah, namun aku tidak tega menolak Lien. Hari itu aku menghabiskan waktu bersama Lien. Kami memasak berbagai masakan tradisional yang bahan-bahannya kami petik di kebun milik nenek Lien.
Kami juga ikut membantu nenek Lien menanam padi di sawah. Sebenarnya aku benci berpanas-panasan, juga bau lumpur di sawah yang terkadang membuatku sedikit mual. Namun, entah mengapa, untuk Lien, aku tidak lagi mementingkan egoku. Semua terasa seru dan baik-baik saja ketika bersamanya. Walaupun tak jarang aku juga panik memikirkan tugas-tugas kuliahku yang menumpuk dengan deadline pengumpulan yang berkejaran. Malamnya, setelah seharian memasak dan menanam padi, aku baru bisa fokus mengerjakan tugas kuliahku.
Ternyata esok paginya, hingga esoknya lagi dan pada akhirnya setiap hari aku selalu menghabiskan waktu bersama Lien, di sela-sela jadwal kuliahku. Dia sedang cuti kerja, namun dia tidak memberitahuku alasannya.
Kami melakukan banyak hal di hari-hari menjelang pernikahannya. Tidak seperti sepasang sahabat lainnya di zaman sekarang yang menghabiskan waktu bersama di kafe, pusat perbelanjaan, atau bioskop. Kami justru asyik membuat berbagai kerajinan dari kain perca, mulai dari membuat baju boneka barbie, hingga bandana dan ikat rambut. Selain itu, kami juga membuat berbagai menu masakan yang kami makan sendiri. Sesekali dia juga mengajakku bermain bersama keponakannya yang masih bayi. Juga memberi makan ayam dan bebek, walaupun aku takut sekali dengan kedua hewan itu, namun lagi-lagi Lien membuatku tetap enjoy melakukannya. Tak lupa dia juga mengajariku mengendarai becak milik ayahnya. Namun sayang, aku tidak bisa karena itu terlalu berat. Karena Lien bisa dan kuat, dia pun menyuruhku menjadi penumpang dan kami mengelilingi kompleks dusun kami dengan becak itu.
“Sudah jam 14.00, waktunya kamu kuliah, Az.”
Aku hanya menyengir dan segera pulang.
***
Esoknya, tepatnya sehari sebelum pernikahan Lien, dia menghampiriku kembali namun dengan mata sembab dan tangisan yang aku baru pernah melihatnya.
“Ada apa?” tanyaku cemas sambil memeluk Lien. Aku bertanya berkali-kali karena ia tak kunjung menjawab.
“Berhenti bertanya ada apa, Azkia.” jawabnya dengan tangis yang mulai mereda, menyisakan pipinya yang basah dan matanya yang memerah. Dadanya naik turun, menahan sesak.
“Aku mau meminta maaf karena telah menjadi parasit dalam hidupmu.” lanjutnya sambil melepas pelukanku.