Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan yang Menjelma Menjadi Parasit

21 Agustus 2023   10:45 Diperbarui: 21 Agustus 2023   10:46 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Itu pertanyaan retorik, Azkia.” jawabnya sambil mengusap pipinya. Tak terasa air matanya jatuh lagi lebih deras daripada ketika awal dia menemuiku tadi.

“Aku tahu ini klise. Hal ini banyak terjadi di sinetron atau drama korea. Tentang persahabatan dan kesenjangan yang menghalanginya. Tapi ini nyata adanya di kehidupan kita, Az. Jadi, daripada menyakiti satu sama lain, lebih baik kita saling memahami bahwa kita tidak lagi bisa bersama di satu bumi yang sama. Aku minta maaf telah membebanimu.”

Aku tidak bisa berkata-kata saking tidak mengerti. Hanya air mataku yang menjawab semua pernyataan retoriknya yang tak masuk akal. Sementara hatiku tak berhenti bertanya, “Kenapa dia menjadi banyak bertanya, menuduh, serta menyimpulkan keadaan dan perasaan orang lain hanya dengan dari mulutnya sendiri? Sejak kapan dia menjadi tidak menghargai pendapat dariku? Kenapa dia menjadi sangat sensitif?”. Oh, mungkin karena omongan orang-orang tentang persahabatan antara aku dengannya, seperti yang ia bilang tadi.

Selama ini, aku baik-baik saja ketika bersamanya. Tak merasa ada beban apapun. Terkadang memang aku suka geleng-geleng kepala menghadapi Lien. Mungkin teman-teman lain tidak akan betah berteman dengannya, mereka tidak suka perilaku Lien yang datar, aneh, dan suka nyeleneh. Mereka juga heran kenapa aku tetap bisa berteman dengannya meskipun tak jarang aku kesal dengan sikapnya. Bukan karena kami teman sejak masih minum ASI, atau bukan pula karena rumah kami yang hanya lima langkah jaraknya. Namun, karena segala keanehan yang dia punya, justru itu yang membuatku merasakan ketulusannya berteman denganku dan karena dia membuatku mengeksplor banyak hal yang tidak bisa aku lakukan sendirian.

“Azkia, ikhlaskan kepergian Lien. Mama tahu Lien orang baik, dia akan tenang di sana.”

“Lien?” panggilku dengan suara lemah.

“Iya, Sayang, ayo kita ketemu Lien untuk terakhir kali. Jangan menangis, nanti Lien sedih.”

Hanya suara Mama yang menjawabku. Lien yang menghilang dan suara orang-orang dari rumah Lien yang terdengar hingga ke kamarku menyadarkanku. Ternyata sedari tadi aku melamun dan otakku memutarkan memori hari-hari sebelum kematian Lien. Aku menuju ke jendela kamarku yang jarang sekali kubuka. Kusibak gorden yang berdebu dan Mama membantu membuka jendelanya. Tidak ada silau dari sinar matahari seperti biasanya. Mendung menggelantung di langit kelabu, seolah siap menangis bersamaku mengantar kepergian Lien. Kulihat di jendela kamar Lien, di seberang jendela kamarku. Lien tersenyum, dengan jilbab dan gamis yang terakhir dia kenakan ketika bertemu denganku. Aku berkata lirih padanya, “Kamu bukan parasit, Lien. Tapi kenanganmulah parasitnya. Mereka tetap ada dan mengikutiku ke mana pun, bahkan mengganggu hidupku, kuliahku, menyita waktuku. Mereka membuat hidupku berantakan, Lien. Mereka tak henti-hentinya membebani punggungku sehingga aku tak lagi bisa berdiri tegak setegak dulu saat masih ada kamu.”

Aku membalik badanku dan memeluk Mama. Mama berkata, “Kita hidup itu butuh beban, Sayang. Tanpa beban, hidup kita akan terlalu ringan sehingga kita akan mudah terbang hingga lupa berpijak pada bumi. Sejatinya, beban itu bukan untuk menjatuhkan kita, tapi dia yang menguatkan kita.”

Angin semilir menemani sore yang penuh duka. Dengan segenap kekuatan dari puing-puing kenangan antara aku dengan Lien, aku menemui calon suami Lien. Kami hanya beradu pandang, hanyut dalam duka yang tiada ada ujungnya. Semua orang-orang yang berduka di hari itu, sedang menguatkan diri mereka masing-masing dari segala beban yang seolah akan segera meruntuhkan hidup mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun