“Aku tidak mengerti, Lien.”
“Aku selalu membebanimu.”
“Tidak, Lien.” balasku dengan pelupuk mata yang mulai berkaca-kaca.
“Bisakah kamu diam dulu?” ujarnya sambil menunduk.
Aku diam, menunggu perkataannya selanjutnya meskipun hatiku bergemuruh tak karuan karena Lien sangat berbeda hari ini. Dia terlihat sangat hancur, tidak setegar yang selama ini dia tunjukkan padaku.
“Aku tahu aku cuma anak tukang becak, bahkan ibuku tidak bekerja. Sedangkan kamu anak pejabat dan aku pikir kasta kita memang tidak sama. Apalagi aku hanya lulusan SMP, sedangkan kamu calon sarjana. Orang-orang berkata kalau aku tidak seharusnya menjadi parasit dihidupmu, Az. Aku sering meminjam uangmu, juga waktumu, yang seharusnya sudah aku kembalikan secepatnya. Kenapa seorang seperti kamu mau menjadi parasit yang selalu kumintai segala hal?”
“Lien, aku tidak pernah mempermasalahkan itu semua dan bukankah selama ini kita selalu baik-baik saja? Bisakah kamu biarkan anjing-anjing itu menggonggong saja?”
“Aku punya telinga dan gonggongan itu sangat menggangguku, Azkia. Oh iya, bukankah kamu tidak suka memasak karena takut api? Kamu juga tidak suka di sawah karena panas dan bau lumpur? Kamu takut ayam dan bebek, kamu tidak suka menjahit dan kamu bosan dengan kegiatan dan permainan kuno dariku. Iya, kan?”
Hening sejenak. Kemudian Lien melanjutkan perkataannya.
“Aku hanya membebanimu. Aku hanya menyita waktumu. Seharusnya kamu banyak belajar untuk kuliah dan fokus mengerjakan tugasmu serta mempersiapkan ujian. Tapi kamu justru menghabiskan waktumu bersamaku. Apakah kuliahmu tidak berantakan karena aku? Dasar bodoh. Kenapa bunga mawar sepertimu hidup berdampingan dengan bunga bakung sepertiku?”
“Kamu terus bertanya tanpa mengizinkanku menjawab?” tanyaku agak kesal.