Mohon tunggu...
Rangga Nugraha
Rangga Nugraha Mohon Tunggu... Relawan - XII MIPA 7 | SMAN 1 Padalarang

Jika kamu gagal, ya sudah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hatta: Kedatangannya Membawa Perubahan

18 November 2021   15:09 Diperbarui: 18 November 2021   15:39 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Nama     : Rangga Nugraha
Kelas      : XII MIPA 7
SMAN 1 Padalarang

Saat itu, cuaca sedang hujan. Angin yang sangat dingin memasuki celah-celah jendela sebuah rumah. Rumahnya memang terlihat sederhana, namun di dalamnya cukup luas dan nyaman untuk ditinggali oleh sebuah keluarga besar.Mohammad Hatta, seorang bocah berusia lima tahun itu sedang belajar berhitung bersama ibunya. Diusianya saat itu, ia sudah termasuk anak yang cerdas karena sudah pandai membaca dan menghitung. Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902.


Hatta kecil hidup di tengah-tengah keluarga yang berada dan terpandang. Walaupun hidup Hatta berkecukupan, ia tidak lantas menjadi pribadi yang sombong. Ia adalah anak yang hemat, tidak pernah jajan yang tidak perlu. Kegemarannya membaca buku. Waktunya sangat diatur oleh keluarganya, sehingga ia pun terbiasa disiplin. Ia tidak banyak keluar rumah karena memang teman sebaya nya pun tidak banyak.  Hatta kecil termasuk pribadi yang pendiam dan serius.


Malam pun tiba. Hujan yang tadinya deras perlahan berhenti hingga tak ada setetes air pun yang turun dari langit. Seorang anak dan ibunya sedang menatap angkasa raya, sebuah ruang hampa nan luas seperti tidak berpenghuni. Begitu sunyi. Kerlap kerlip bintangnya membuat Hatta terkagum melihatnya sambil duduk di pundak ibunya. Ia berpikir apakah bisa mencapai bintang itu saat besar nanti.

"Mama, aku mau cepat sekolah supaya bisa pergi ke bintang itu?" Tanya Hatta dengan polosnya karena ia pernah membaca buku yang katanya impian akan terkejar bila bersekolah.

"Sebentar lagi kok nak, sabar ya. Nanti mama coba tanya ke papa kapan kamu mulai sekolah." Jawab ibunya sambil tersenyum dengan bangga pada anaknya dan berharap anaknya bisa membawa perubahan yang lebih baik pada negara Indonesia kelak nanti.

"Asiik, aku udah gak sabar ma pengen sekolah. Biar nanti Atta punya banyak temen." Dengan gembiranya Hatta mendengar bahwa ia akan sekolah sebentar lagi.

"Ayo tidur nak, sudah malam begini nanti kamu masuk angin kalau di luar terus".

"Iya mama, ayo kita tiduur!" suara yang nyaring bersemangat itu telah menunjukkan betapa senangnya Hatta saat itu.

Saat Hatta sudah nyenyak dalam tidurnya, ibunya bernama Siti Saleha berbincang dengan ayah tiri Hatta yang bernama Mas Agus Haji Ning. Ayah kandung Hatta sebenarnya bernama Muhammad Jamil sudah meninggal ketika Hatta berusia 7 bulan. Namun, saat ini Hatta hanya mengira bahwa Mas Agus Haji Ning adalah ayah kandungnya. Memang butuh waktu yang tepat untuk memberitahukan semuanya pada Hatta, namun ibunya masih belum sanggup untuk mengatakannya. Seorang ibu tidak akan tega melihat anaknya menangis ketika tahu bahwa ayah kandungnya telah meninggal.

"Pah, gimana sekolahnya adek? Dia katanya sudah tidak sabar bersekolah dan bermain dengan teman teman sebayanya." Berbisik bisik ibunya Hatta agar anaknya tidak terbangun.

"Tenang saja ma, saya sudah menemukan sekolah yang tepat untuk Hatta. Kita akan memasukkannya ke Sekolah Rakyat sesuai dengan perjanjian kakeknya Hatta." Ujar ayah Hatta pada istrinya.

"Alhamdulillah, kalau begitu kita besok daftar kesana ya pa, Hatta pasti senang kalau sekolah secepatnya."

"Mmm,... Baiklah kalau itu demi Hatta, ayo tidur sekarang. Kita nanti berangkat pagi saja ya".


Keesokan paginya, Hatta terbangun dari tidurnya. Ia baru saja bermimpi bermain dengan teman teman sebayanya. Mungkin karena semalam dia banyak berkhayal sebelum tidur. Entah kenapa pagi ini membuat Hatta merasa akan ada kejutan menantinya hari ini. Benar saja, ayahnya menyuruh Hatta untuk bersiap siap pergi ke tempat yang akan menjadi sekolah Hatta. Sunggu kejutan yang besar bagi Hatta ketika mendengar hal itu. Kemudian bersiap siaplah mereka pergi menuju sekolah baru Hatta.
Sesampainya di sekolah, ayah Hatta menemui kepala sekolahnya yang terlihat agak kurus. Orangnya tua dan cukup ramah. Diantarlah keluarga Hatta menuju ruangan guru.

"Ooh ini anaknya yang mau sekolah disini ya."
" Iya Pak, namanya Hatta, usianya sudah 5 tahun. Dia ingin sekolah supaya punya teman teman sebaya sepertinya."
"Wah... sayang sekali Pak, untuk masuk sekolah ini minimal anak harus berusia 6 tahun dulu."
"Tapi anak saya sudah bisa membaca dan menulis dengan baik Pak. Mohon dipertimbangkan lagi."
"Hebat sekali usia 5 tahun sudah bisa membaca dan menulis. Tapi mohon maaf Pak, tidak bisa. Sudah menjadi peraturan sekolah ini untuk menampung anak yang mulai berusia dari 6 tahun."

Mendengar pembicaraan dua orang dewasa itu, Hatta sepertinya mengerti bahwa dirinya belum bisa sekolah saat ini. Wajahnya langsung terlihat sedih dan berharap bisa sekolah secepatnya. Akhirnya, Hatta pulang ke rumahnya dengan perasaan yang tidak enak di hatinya. Orang tuanya berusaha untuk menghibur Hatta saat dijalan pulang. Walaupun Hatta belum bisa menghilangkan rasa sedih sepenuhnya, ia agak sedikit lega setelah dihibur orang tuanya dengan becanda dan gurauan dari mereka saat di jalan.

Seminggu setelah Hatta tidak diterima di sekolah rakyat, ayah Hatta menemukan sekolah swasta yang bisa menerima siswa baru seusia Hatta. Sekolah swasta yang dimaksud disini adalah sekolah yang dikelola per-orangan. Sekolah ini adalah milik mantan tentara Belanda yang bernama Mr. Lederboer. Jadi tidak heran jika sekolah ini memiliki salah satu pelajarannya adalah bahasa Belanda.

Selepas maghrib, Hatta pergi mengaji ke Surau Inyik Jambek. Agak jauh dari jarak rumahnya Hatta. Teman mengaji Hatta, rata-rata tidak bersekolah di pagi harinya. Mereka kebanyakan membantu orang tuanya di sawah atau menggembala kerbau. Oleh karena itu, walaupun punya teman mengaji, Hatta tidak pernah bermain bersama mereka. Di surau, anak-anak diajari mengaji dengan berlagu. Hatta cepat belajar mengenal huruf Arab, cepat pula pandai membaca Juz Amma, tetapi dalam berlagu, ia tidak pandai.    


Pagi hari yang ditunggu tunggu Hatta pun tiba. Ia tidak sabar untuk pergi ke sekolah barunya. Seandainya dia tahu bagaimana sekolahnya nanti, mungkin Hatta tidak akan segembira ini. Saat sesampainya di sekolah, Hatta terlihat heran karena keadaannya sangat sepi. Ia mengira sekolahnya akan ramai. Namun kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi.
"Kok sepi?" Hatta bertanya tanya dan keheranan.
"Maaf ya nak, papa lupa bilang ke kamu, sebenarnya sekolah ini hanya baru kamu yang daftar karena masih baru. Tapi tunggu saja, siapa tau nanti ada yang daftar lagi seusia kamu." Kata ayahnya dengan wajah yang tidak enak pada Hatta.
"Iya pah, gak papa." Jawaban singkat Hatta sambil tersenyum pada ayahnya.

Sebulan kemudian, Hatta masih sekolah sendiri disana. Sebenarnya ia masih berharap ada yang masuk di sekolahnya sehingga ia memiliki teman. Namun walaupun begitu, hal itu tidak akan mematahkan semangat Hatta dalam belajar. Setiap hari ia belajar dengan tekun dan sesekali mengambil cuti supaya ia bisa beristirahat dan tidak terlalu tertekan dalam menerima materi.

Hanya enam bulan Hatta belajar di sekolah swasta. Engku Guru Thalib mengabari Mas Agus bahwa di kelas 1 Sekolah Rakyat banyak kursi yang tersedia. Karena usia Hatta sudah genap enam tahun. Hatta sangat senang karena akhirnya sebentar lagi dia akan mempunyai banyak teman di sekolah barunya, Hatta pun segera masuk kelas 1 Sekolah Rakyat.

Hatta menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Paripat, Bukittinggi. Karena Hatta sudah mampu membaca dan menulis dengan lancar, setelah empat bulan sekolah, ia dinaikkan ke kelas dua. Sore harinya, ia masih melanjutkan belajar Bahasa Belanda. Kali ini ia diajar oleh seorang guru berkebangsaan Belanda bernama Mr.Jansen.          

Dua tahun bersekolah di Sekolah Rakyat, Hatta dipindahkan ke Sekolah Belanda, ELS (Europese Lagere School). Awalnya ia menolak karena sudah merasa cocok dengan teman-temannya di Sekolah Rakyat. Atas bujukan Mr.Jansen dan Paman Saleh, akhirnya Hatta mau juga pindah ke ELS. Tidak banyak anak Indonesia yang belajar di ELS. Di ELS, hanya anak pegawai pemerintah dan orang kaya saja yang diterima. Di ELS, Hatta diterima di kelas dua. Pagi hari Hatta belajar di ELS, sorenya belajar bahasa Belanda, sesudah maghrib belajar mengaji di surau. Hatta dapat mengatur waktu dengan baik karena dukungan keluarganya.


Hari minggu, hari terakhir dari tujuh nama hari yang ada. Hatta berbincang bincang dengan kakeknya yang bulan depan rencananya akan menunaikan ibadah haji.
"Kakek bulan depan mau pergi haji kan. Hatta ikut dong kek" ucap Hatta yang merasa bosan di rumahnya dan ingin jalan jalan.
"Kamu belajar dulu yang rajin ya nak. Nanti kalau sudah besar baru boleh diajak kesana" Jawab kakek Hatta yang perasaan sebenarnya ingin membawa Hatta pergi bersamanya ke Mekkah.

Kakek Hatta yang merasa ingin membawa cucu kesayangannya pergi ke Mekkah itu langsung bicara dengan keluarga di rumah.Ia bermaksud ingin membawa Hatta pergi bersamanya ke Mekkah. Namun ternyata Paman Idris (pamannya dari pihak ibu Hatta) dan Ibu Hatta tidak setuju, dengan alasan Hatta masih terlalu kecil dan Hatta pun belum menamatkan Al-Qur'an.

7 tahun telah berlalu, sekarang Hatta telah berusia 14 tahun. Hatta hampir tamat sekolah di ELS. Sebelum Hatta menamatkan pendidikan di ELS pada tahun 1916 di Kota Padang. Ia berencana ingin melanjutkan ke Hogere Burger School, HBS, namun HBS tidak ada di Sumatera Barat, adanya di Jakarta. Hatta ragu ia akan diizinkan oleh ibunya untuk melanjutkan sekolah disana.
"Mak, aku mau bicara hal yang penting nih."
"Hal yang penting apa nak? Tumben sekali."
"Jadi begini, rencananya aku setelah lulus nanti mau lanjut ke Hogere Burger School, HBS."
"Dimana itu nak, kok mama baru dengar?"
"Di Jakarta mak, soalnya disana pendidikannya bagus."
"Jauh sekali nak, bukannya mak mau melarang kamu bukan tanpa alasan, mak takut jika kamu ke Jakarta, kamu akan terpengaruh dengan pergaulan kota besar dan lupa dengan agama nantinya."
"Aku bisa jaga diri kok mak, aku juga punya teman baik yang lanjut sekolah ke sana. Jadi mak gak perlu khawatir."

Setelah mendengar alasan itu, ibu Hatta hanya diam saja tidak menjawabnya. Melihat ibu nya yang diam saja dan tidak menjawab, Hatta tau bahwa ibunya tidak mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan ke Jakarta. Sebelumnya, Hatta sudah menduga kalau ia tidak akan diizinkan untuk pergi ke Jakarta. Mengantisipasi hal itu, ia ternyata mempunyai pilihan cadangannya. Yaitu melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO, di Kota Padang. Pamannya pernah menyarankan agar Hatta melanjutkan sekolah ke MULO. Hatta menerima saran dari pamannya itu sebagai opsi pilihan kedua jika ia tidak diizinkan sekolah di Jakarta. Dan pada akhirnya, Hatta terpaksa memilih opsi ke-2 untuk melanjutkan pendidikannya yaitu di MULO.

Di MULO, Hatta mendapat pelajaran sejarah, yang mampu menumbuhkan pemahamannya terhadap nilai-nilai kebangsaan. Ditambah lagi, pada tahun 1918 datang Nazir Datuk Pamontjak dari Jakarta ke Padang. Ia merupakan salah seorang dari beberapa orang Indonesia yang telah lulus HBS di Jakarta. 

Dengan bantuan Marah Sutan (sekretaris persatuan sosial di Padang yang bernama "Sarekat Usaha"), Nazir Datuk Pamontjak dapat menyelenggarakan rapat dengan para pelajar sekolah-sekolah menengah di Padang dan Bukittinggi. Hatta hadir pada rapat tersebut. Pada rapat itu, Nazir Datuk Pamontjak menyadarkan pelajar Sumatera pentingnya wadah pemersatu bagi pemuda Sumatera Barat.

Setelah lima tahun tidak lagi belajar agama, Hatta dan kawan-kawan mulai lagi belajar agama pada Haji Abdullah Ahmad. Abdullah Ahmad merupakan guru agama di sekolah yang didirikan oleh Sarekat Usaha. Dari situlah Hatta mengenal Sarekat Usaha dan mengenal Engku Thaher Marah Sutan (sekretaris Sarekat Usaha). Melalui Thaher Marah Sutan, Hatta mulai mengenal surat kabar "Utusan Hindia" yang dipimpin Abdul Muis. Sejak itulah 

Hatta mulai mengenal dan tertarik pada dunia politik. Ia mulai sering menghadiri pertemuan-pertemuan para tokoh dan pemuka Sarekat Usaha yang seringkali membicarakan kehidupan politik. Pandangan sosial Hatta semakin luas lagi dengan datangnya Abdul Muis (tokoh Sjarikat Islam) ke Padang. Abdul Muis menyampaikan beberapa pidato di beberapa kesempatan mengenai "rodi".

Menurut Hatta, Abdul Muis merupakan seorang ahli pidato yang hebat. Abdul Muis mampu menyadarkan Hatta bahwa rodi merupakan suatu sistem yang buruk, yang pada awalnya Hatta mengira rodi merupakan bagian dari lembaga adat semata. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Beberapa waktu setelah masuk menjadi anggota Jong Sumatranen Bond, ia dipercaya sebagai bendahara. Hatta pernah tergabung dengan klub sepak bola bernama Swallow ketika sekolah di Padang Setelah menamatkan studi di MULO,

Hatta telah menunjukkan dirinya bahwa ia sudah beranjak dewasa dan mampu hidup mandiri untuk melanjutkan pendidikannya ke Jakarta.Tetapi tetap saja, ia harus mendapatkan restu terlebih dahulu dari orang tuanya.
"Ibu sangat bangga denganmu Hatta, mak tau kalau kamu itu sebenarnya anak yang baik dan cerdas. Dulu, mak larang kamu pergi ke Jakarta karena mak khawatir kamu akan berubah dan terpengaruh dari kota yang belum tentu baik buat kamu. Tapi sekarang mak percaya, kamu pasti bisa menyesuaikan diri disana dan tetap dalam pendirian kamu yang sekarang." Ucapan yang sangat lembut dari ibunya itu membuat Hatta sempat mengeluarkan air mata. Perasaannya bagaikan cuaca yang sedang hujan, namun tetap tenang dan sunyi.
"Terima kasih mak, aku janji tidak akan mengecewakan mama ketika aku pulang nanti."

Hatta berangkat ke Jakarta dan melanjutkan pendidikannya ke Hogere Burger School, HBS. Ia senang karena akhirnya dapat melanjutkan ke sekolah yang dimimpikannya sejak dulu. Pendidikannya sangat berkualitas, bisa dibilang mungkin itu adalah pendidikan terbaik bagi Hatta karena banyak orang orang lulusan dari HBS membawa perubahan bagi Indonesia. Hatta juga bercita cita untuk membawa perubahan bagi Indonesia saat negaranya bebas dari penjajahan Belanda nanti. Ia yakin bahwa Indonesia kelak akan merdeka tidak lama lagi.
Hatta menempuh pendidikan di Hogere Burger School, HBS selama 3 tahun (1919-1921). Setelah itu, ia berencana untuk kuliah di Handels Hogeschool  yang ada di Belanda. Alasannya karena Hatta sangat tertarik dengan ilmu politik dan disanalah ia berpikir dapat mengembangkan ilmu politiknya disana secara maksimal demi membawa perubahan kepada negara Indonesia saat merdeka nanti.

Pergerakan politik ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921--1932. Ia bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereeniging yang kemudian menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Pada tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia; PI).

Pada tahun 1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat menyelesaikan studi. Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia. Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930 Pada Desember 1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta Waktu itu, Hatta belum meyetujui paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk. Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.

Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt. Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia tampak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis. Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.


***
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942 ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.


Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerja sama dengan Belanda, diikutsertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan rakyat

Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.

Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden Soekarno. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari -- 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.

Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematangsiantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.


Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak memperjuangkan sampai berhasil Perjanjian Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.


Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.


Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyat RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.


Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya antara lain,
"Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."


DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada tanggal 23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.


Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebenarnya gelar Doctor Honoris Causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya. Kata dia, "Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.".

***
Didikan agama dan teladan baik dari Ayah, Ibu dan paman serta kakeknya selalu mengiringi setiap langkah hidup Hatta, tak lupa ribuan buku yang menjadi kawan setianya, kawan sepenanggungan yang menyimpan banyak rahasia dan cerita. Bung Hatta menjadi sosok yang sangat inspiratif untuk kita semua. Selalu melangkah ke depan mengatasi setiap halangan dengan tenang.


Setiap orang dituntut untuk mencari ilmu, namun tidak semua orang bisa memanfaatkan ilmu yang didapat itu dengan bijak. Hatta yang selalu menuntut ilmu tanpa melupakan agamanya ini patut di contoh oleh kita semua. Memanfaatkan ilmu yang di dapat untuk membawa perubahan besar untuk negara bukanlah hal yang mudah. Tentu harus konsisten dalam menjalaninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun