Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak memperjuangkan sampai berhasil Perjanjian Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.
Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyat RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.
Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya antara lain,
"Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."
DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada tanggal 23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.
Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebenarnya gelar Doctor Honoris Causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya. Kata dia, "Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.".
***
Didikan agama dan teladan baik dari Ayah, Ibu dan paman serta kakeknya selalu mengiringi setiap langkah hidup Hatta, tak lupa ribuan buku yang menjadi kawan setianya, kawan sepenanggungan yang menyimpan banyak rahasia dan cerita. Bung Hatta menjadi sosok yang sangat inspiratif untuk kita semua. Selalu melangkah ke depan mengatasi setiap halangan dengan tenang.
Setiap orang dituntut untuk mencari ilmu, namun tidak semua orang bisa memanfaatkan ilmu yang didapat itu dengan bijak. Hatta yang selalu menuntut ilmu tanpa melupakan agamanya ini patut di contoh oleh kita semua. Memanfaatkan ilmu yang di dapat untuk membawa perubahan besar untuk negara bukanlah hal yang mudah. Tentu harus konsisten dalam menjalaninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H