Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan lebat dan ladang hijau, hiduplah seorang gadis kecil bernama Dara. Rambutnya panjang dan hitam legam, dengan mata yang bersinar seperti bintang di langit malam. Dara adalah anak yang cerdas, namun terkadang, ia suka menyimpan kebohongan-kebohongan kecil yang ia anggap tidak berbahaya. "Ah, siapa yang tahu," gumamnya sering kali, membenarkan dirinya sendiri. Â
Guru Dara bernama Pak Arsa, seorang pria bijaksana yang dicintai murid-muridnya. Setiap kali ia mengajar, ia menyisipkan cerita-cerita penuh hikmah, tentang kejujuran, ketekunan, dan hubungan manusia dengan alam. Bagi Pak Arsa, kejujuran adalah mutiara paling berharga dalam hidup. Ia sering berkata, "Kalian bisa membohongi dunia, tetapi hati dan alam tak akan pernah tertipu." Kata-kata itu melekat di hati Dara, meski ia belum mengerti sepenuhnya maksud Pak Arsa.
Hari itu adalah hari pengumuman nilai ujian semester. Dara menggenggam kertas hasil ujiannya dengan cemas. Angka sembilan besar tertera di sana---nilai yang sangat bagus, lebih tinggi dari yang pernah ia raih. Namun, di hati kecilnya, ada sejumput perasaan bersalah. Dara tahu bahwa sebagian jawabannya adalah hasil mencontek. Ketika Pak Arsa mendekatinya dengan senyum bangga, ia teringat lagi kata-katanya tentang kejujuran. Tapi, keinginan untuk dipuji lebih besar dari rasa bersalah itu. Maka, ia hanya tersenyum kecil dan berkata, "Iya, Pak. Saya belajar dengan sangat giat."
Pak Arsa mengangguk bangga dan memuji Dara di depan kelas, "Lihatlah Dara! Dengan usaha dan ketekunan, dia bisa meraih hasil luar biasa!" Semua mata tertuju pada Dara, sebagian dengan kekaguman, sebagian lagi sedikit iri. Namun, di balik pujian itu, sesuatu yang tidak terlihat mulai terjadi.Â
Sebuah kekuatan halus dari alam mulai berbisik.
***
Hari demi hari, Dara merasakan tubuhnya mulai berubah. Kulitnya terasa lebih hangat, rambutnya semakin tebal dan kasar. Ketika ia bercermin suatu pagi, alangkah terkejutnya ia melihat dua tonjolan kecil di kepalanya, mirip seperti bakal tanduk. Tangan mungilnya gemetar saat meraba-raba tonjolan itu. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya. Tak lama kemudian, tubuhnya mulai berubah semakin aneh. Kakinya terasa kuat namun aneh, wajahnya mulai meruncing, dan telinganya semakin memanjang.
Suatu malam, saat rasa takutnya makin tak tertahankan, Dara memutuskan pergi ke tepi hutan di belakang rumahnya. Langit malam yang kelam menjadi saksi bisu ketika Dara memohon pada leluhurnya, "Tolong, siapapun yang mendengar, aku ingin kembali menjadi manusia!" Malam yang tenang itu tiba-tiba terasa hangat, seolah-olah ada hembusan nafas dari leluhur yang telah lama tidur.
"Apa yang kau minta, anakku?" Suara halus namun dalam terdengar di telinganya. Dara terperangah, sekelilingnya sunyi, tapi suara itu tetap menggema. "Kau meminta menjadi manusia, tetapi hatimu penuh kebohongan," lanjut suara itu. Tiba-tiba, Dara mengerti bahwa suara itu berasal dari leluhurnya, mereka yang telah beristirahat di bawah tanah, mereka yang menjaga keseimbangan alam dan selalu mengawasi perbuatan para penerusnya.Â
Dara menunduk, merasa malu dan takut.
"Kami telah melihat kebohonganmu pada gurumu," suara leluhur itu melanjutkan. "Kebohonganmu adalah luka bagi alam, sebab kamu menyembunyikan kebenaran di dalam hati."
Leluhurnya berbisik lembut namun tegas, "Sebagai hukuman, kau akan kami kutuk menjadi seekor rusa, makhluk yang selalu mencari jalan pulang namun tak pernah menemukan arah, hingga kau belajar jujur. Ketika kau mengakui kebohonganmu kepada gurumu, kutukan ini akan terangkat."
Dara menangis terisak, tetapi tak ada yang bisa dia lakukan. Ketika pagi menjelang, ia terbangun dan mendapati dirinya sepenuhnya berubah menjadi rusa. Tanduk-tanduknya kini tumbuh penuh, bulu halus menutupi tubuhnya, dan kakinya menjadi ramping serta kuat. Kini, Dara terjebak dalam tubuh rusa. Dari kejauhan, ia melihat rumahnya, keluarganya yang mencari-cari, namun mereka tak bisa mengenalinya.Â
Hatinya tersiksa tiap kali melihat wajah khawatir ibunya.
Hari-hari berikutnya, Dara hidup di hutan, melompat-lompat di antara pepohonan tumbang, menggembalakan perasaannya yang berat, dan menyesali kebohongannya. Setiap malam ia merenung, mengenang kehangatan keluarga, keceriaan di kelas, dan kebaikan Pak Arsa yang tak seharusnya ia balas dengan kebohongan.
Setelah beberapa minggu, akhirnya Dara memutuskan untuk kembali ke desa, mendekati sekolah tempat Pak Arsa mengajar. Meski menjadi seekor rusa, entah bagaimana, ia merasa dirinya masih Dara yang dulu, murid yang pernah ia kenal. Setiap sore, Dara duduk di pinggir hutan, memandang Pak Arsa yang berjalan pulang dengan langkah penuh ketenangan.
Suatu hari, Pak Arsa melihat sosok rusa yang duduk di sana, menatapnya dengan tatapan lembut dan penuh penyesalan. Tanpa ia tahu, rusa itu sebenarnya adalah Dara. Setiap kali Pak Arsa mendekat, rusa itu tampak ragu namun tak beranjak. Seolah-olah ada pesan yang ingin disampaikan melalui pandangannya.
Akhirnya, Pak Arsa mulai berbicara kepada rusa itu, seakan tahu bahwa rusa tersebut bukanlah rusa biasa. "Apa kau tersesat rusa kecil?" ucapnya.
Mendengar itu, Dara merasa seakan ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk berkata jujur. Ia mengumpulkan keberanian dan melangkah maju. Dengan tekad yang besar, Dara bersuara dalam hati, menyampaikan permohonan pada leluhurnya agar diberi kesempatan sekali lagi untuk berbicara. Dan tiba-tiba, dalam keajaiban malam yang sunyi, suara Dara terdengar dari bibir rusa itu.
"Pak Arsa, ini aku, Dara." Pak Arsa terperangah, mendengar suara lembut Dara keluar dari mulut rusa tersebut. Tanpa berkata apa-apa, ia mendengarkan, matanya penuh perhatian dan kesedihan.
"Pak, aku berbohong tentang nilai ujian itu," Dara melanjutkan. "Aku tidak sepenuhnya jujur ... aku ... aku mencontek, Pak. Aku minta maaf. Sejak hari itu, aku dikutuk dan tak bisa kembali menjadi manusia."
Pak Arsa tersenyum lembut, meski hatinya sedikit pedih mendengar pengakuan Dara. "Dara, kejujuran adalah awal dari segala kebaikan. Kau telah berani mengakui kesalahanmu, dan Bapak bangga padamu." Ia mengusap kepala rusa itu dengan lembut, penuh kasih seperti seorang ayah.
Tiba-tiba, tubuh Dara bergetar. Cahaya lembut menyelimuti dirinya, dan perlahan-lahan ia berubah kembali menjadi gadis kecil dengan rambut hitam legam yang panjang. Pak Arsa terpana, melihat Dara berdiri di depannya dengan air mata di pipi.
"Terima kasih, Pak ... Terima kasih sudah mendengarkan," bisik Dara.
Pak Arsa mengangguk sambil menatapnya penuh bangga. "Dara, ingatlah bahwa kejujuran bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi juga demi menjaga keseimbangan alam di sekitarmu. Alam dan leluhur kita menghargai hati yang bersih dan tindakan yang jujur."
Dara mengangguk. Dalam hatinya, ia bersumpah untuk tidak akan berbohong lagi, baik pada orang lain maupun pada dirinya sendiri. Kebenaran, ia menyadari, adalah permata paling berharga yang harus dijaga dengan hati-hati.
Sejak hari itu, Dara kembali ke sekolah, menjadi murid yang lebih bijaksana. Setiap kali ia merasa tergoda untuk berbohong, ia teringat pada malam-malam panjangnya di hutan, ketika ia hanya bisa menjadi rusa yang merindu rumah. Pak Arsa pun terus mengajarkan kejujuran dengan hati, dan Dara tak pernah lupa akan pelajaran yang diterimanya---pelajaran dari leluhur, dari hutan, dan dari gurunya yang bijaksana.
Pengalaman adalah guru terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H