"Sudah siuman, dia mengalami geger otak ringan dan syok pada kepalanya." Begitu jawabannya, singkat dan dingin. Aku ingin sekali bertemu Ibu dan meminta maaf kepadanya, tetapi aku tidak memiliki bukti kuat untuk melawan balik tuntutan dari orang tua Pandu.
Ibu masih memohon-mohon agar diberi keringanan, jika bisa biar dirinya saja yang dipenjara sementara aku dibiarkan bebas. Tangisku semakin pecah.
Pada akhirnya korban akan selalu menjadi korban, wanita akan selalu menemukan jalan buntu dalam membela keadilannya. Lantas, aku bisa apa selain meng-iyakan keinginan Pandu pada hari Sabtu sore itu. Aku tidak bisa melawan, aku terpaksa menyetujui ia menodai tubuhku sebab tahu, aku hanya percaya pada bujuk rayunya bukan dampak yang tersingkap setelahnya. Ranendra, apakah ia membenciku karena harus mundur dari jajaran kru film yang sedang kami garap? Aku harap dia tidak marah padaku sebab hanya dirinya yang mengerti dan bisa memperlakukanku sebagaimana mestinya.
Entah bagaimana hukum akan membawaku. Aku selamanya akan dilabel sebagai tersangka sementara orang-orang tidak tahu betapa sakitnya dampak yang diberikan oleh perbuatan tidak senonoh yang dipertegas dengan kata-kata, "Itu cuman seks, Genta."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H