Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Betrayal

15 Oktober 2024   02:54 Diperbarui: 15 Oktober 2024   02:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah kombinasi yang menyenangkan, bukan? Bayangkan saja.

Aku, Genta Renjana, akan selamanya membenci hari Minggu dan senja. Khususnya Pandu Angakasa Senja.

Suara motor butut yang asapnya mengganggu pernapasan segera mencuri perhatianku. Itu dia Ranendra yang dibonceng oleh kameraman kami yang berambut cepak dan berkulit gelap, namanya Fadil. Lagaknya tengil dan memiliki kebiasaan memutar musik lewat pengeras suara saat berkendara yang lama kelamaan membuatku jengkel, lagu-lagu yang diputar biasanya dari Kelompok Penerbang Roket atau band sejenisnya. Bukan, aku bukannya tidak menyukai band dengan aliran itu, hanya saja Fadil ini agak susah kalau diingatkan untuk mengecilkan suara atau sekadar tahu situasi saat memutar lagunya.

Apesnya lagi, Fadil ini adalah salah satu teman dekat pacarku, Pandu. Mau benci dengan Fadil tapi alasannya apa? Kan urusanku dengan Pandu bukan cowok tengil yang mengenakan pakaian serampangan itu.

"Yo, Ren, gimana kabar?"

Aku hanya mengendikkan dagu seraya melempar naskah yang sudah ditagihnya sejak kemarin ke atas meja. Mata Ranendra langsung bersinar-sinar, ia duduk di depanku lalu menyentak Fadil untuk mematikan lagu karena dirinya sedang dalam mode konsentrasi. Ranendra ini tipe yang tidak bisa pecah fokus, tetapi sekalinya berkonsentrasi penuh akan suatu hal, ia akan menyelesaikan hingga beres. Aku mana bisa seperti itu, sebentar saja duduk sudah bosan pasti mencari pelarian membaca buku di beranda rumah atau menghabiskan waktu menggulirkan informasi receh di laman Instagram atau X.

"Pesenin kopi dua, Dil, sama Mpok Dul."

"Dih kok nyuruh-nyuruh gue."

Ranendra langsung mengeplak kepala Fadil. Puas sekali aku melihatnya.

"Kopi lo udah gue bayarin, ini gue lagi baca naskahnya Renjana. Daripada lo belum ada kerjaan, sana pesenin kopi."

Uang nominal 5 ribu dan 2 ribu rupiah dilempar, Ranendra tidak menawarkanku karena tahu aku tidak suka kopi dan sudah ada segelas susu putih hangat setengah habis di depanku. Fadil mengusap kepala sambil berdecak sebal walaupun tubuh jangkungnya tetap beranjak untuk memesan kopi di warung Mpok Dul. Aku terkekeh-kekeh melihat itu, Ranendra menyulutkan sepuntung rokok yang asapnya ia semburkan jauh-jauh dari wajahku. Sopan sekali, sekalipun Ranendra ini perokok aktif, ia masih menghargai rekan-rekannya yang hanya perokok pasif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun