Berlari dari apa? Berlari dari rundungan orang-orang yang masih memperlakukannya seperti barang atau hewan. Pandu pun tidak ada bedanya, merasa bersalah pun tidak. Ia malah terus menggodaku lagi dan lagi. Aku mendekatkan diriku pada salah satu pohon itu sambil menaruh dahiku pada batangnya yang lembap. Bersandar pada makhluk hidup yang bisu rasanya jauh lebih baik ketimbang mereka yang berakal tetapi melakukan tindakan bejat.
"Sayang aku ke sana, ya? Kamu masih di Warung Mpok Dul, kan?" kata Pandu nada suaranya agak panik.
Sial, aku tidak sadar ternyata aku tersedu-sedu. Belum sempat aku melarangnya kemari, telepon telah ditutup. Disusul pula Ranendra yang memanggilku karena bubur pesanan kami telah tiba, buru-buru aku mengusap air mata sambil menarik napas panjang. Semoga saja mereka tidak mendapatiku yang menangis sebab tidak mungkin aku menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.
***
SORE itu di hari Sabtu, Pandu berkata bahwa orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Ia di rumah hanya bersama Mbok Har, pembantunya yang sudah ikut sejak Pandu masih balita. Kata Pandu, menjadi anak semata wayang ada enak dan tidak enaknya. Ia menjelaskan dengan runut dan gerak tangan yang teratur saat menceritakan bagian enaknya antara lain mendapatkan apa saja yang diinginkan dengan mudah, tidak perlu repot bertengkar dengan saudara sendiri, mungkin saja warisan yang utuh. Sampailah di bagian tidak enaknya, ia menyesap secangkir teh yang hangat itu sambil mendekatkan posisi duduknya ke arahku. Bagian tidak enaknya adalah ia merasa kesepian, kurang perhatian karena kedua orang tuanya kerap pergi dalam jangka waktu lama, dan Pandu justru merasa iri dengan orang-orang yang bisa bertengkar atau berdebat dengan saudaranya sendiri, maka dari itu ketika dirinya mendapatkan hatiku, Pandu itu selalu menunjukkan sisi manjanya tanpa kenal waktu. Maklum ia butuh atensi dan kasih sayang.
Aku menyentil hidungnya yang mancung hingga ia meng-aduh kesakitan. Kini giliranku yang menyesap teh buatan Mbok Har, aku menimpali bahwa memiliki saudara kandung itu tidak buruk-buruk amat. Aku dan Sagara misalnya, kami memang kerap bertengkar untuk memperebutkan sesuatu. Misalnya aku yang ingin menonton acara gelar wicara di televisi sementara Sagara merengek ingin diputarkan serial kartun Upin & Ipin hingga akhirnya kami berkelahi sampai Ibu yang harus melerai. Jujur saja, aku malah rindu melakukan itu sebab saat Sagara tumbuh remaja, ia mulai asyik sendiri bermain futsal dan sibuk dengan teman-teman sebayanya.
Percakapan kami terdengar biasa, namun Pandu sudah mulai memainkan ujung rambut hitamku yang dibiarkan terurai. Katanya rambutku itu berkilau seperti surai seekor kuda yang berlarian di permadani hijau---surai seekor kuda yang lebat dan hitam. Jantungku menggedor-gedor dada, manis sekali kata-katanya, tetapi tak berhenti sampai di sana, ia kemudian mengelus lembut pipiku yang tirus. Katanya perona pipi pada wajahku membuatnya seindah lembayung pada surya yang tenggelam, "Bahkan senja itu iri dengan kecantikanmu." Begitu katanya yang membuat pipiku semakin merah padam. Kini giliran mataku yang dipuji, menurut Pandu mataku yang agak sipit mirip seperti bentuk perahu kayu yang berlayar di atas air jernih tak beriak, lalu bagian kesukaannya bola mataku karena menurutnya, "Aku lebih suka menatap pantulan senja dari bola matamu karena keindahannya menjadi ganda." Aku tersipu.
Napas ini semakin memburu saat jarinya mulai mengusap bibir tipisku. Katanya bibirku lembap kemudian ia bertanya apakah aku sering mengulum bibirku sendiri. Aku menjawab dengan anggukkan kepala. Kata-katanya membuatku larut dalam rayuan manis bak pujangga lawas. Ia menyuruhku memejamkan mata, aku turuti, kemudian bibir kami saling bersua. Lembut dan hati-hati. Aku bisa merasakan napas dan mulutnya yang harum seperti permen anggur. Desir aliran darah mulai terdengar---berenang cepat dari ujung jemari hingga kepala, ada sensasi menyetrum yang membuat perutku mulas. Pandu kemudian memanduku untuk menanggalkan kemejanya, jari jemariku bergetar, kancing demi kancing kubuka sementara senja semakin genit melihat kami dari langit sana. Dadaku seperti hendak meletus. Kini aku benar-benar terlarut dalam keinginannya untuk melampiaskan fantasi yang selama ini terpendam di dalam benak dan pikiran.
Seks.
***
PANDU mengajakku berbicara empat mata jauh dari pandangan Fadil dan Ranendra. Ia bertanya dengan nada agak menekan, sebenarnya aku itu kenapa? Mengapa tiba-tiba diam dan membiarkannya digantung tanpa jawaban. Aku hanya mampu menatapnya sinis dan penuh amarah, bagaimana bisa orang yang selama ini aku sayang masih memikirkan dirinya sendiri padahal aku yang sedang menahan rasa sakit sebab ditolak oleh tubuhku sendiri yang makin merasa jijik.