Rasa sakit itu kembali menusuk-nusuk saat aku mencoba untuk beranjak dari ranjang. Aku berjalan mengangkang seperti anak lelaki yang baru saja disunat. Aku tahu karena adikku, Sagara Laksana, bocah yang akan masuk kelas 7 SMP itu waktu disunat saat masih kelas 4 SD. Cara jalanku persis sepertinya, agak membungkuk dan meringis kesakitan. Mungkin inilah karma sebab dahulu, aku sering mengoloknya seperti bayi baru belajar berjalan, kali ini aku malah seperti itu.
Aku pergi ke kamar mandi yang berada di ujung lorong kemudian duduk pada dudukan toilet. Napasku langsung memburu sebab saat ingin kencing rasanya seperti disilet-silet. Bagian selangkangku kembali menyelekit sakit. Tiba saatnya waktu-waktu penyesalan menyambar kulit. Aku menggaruk-garuk kulitku dengan kuku-kuku tajam hingga lecet dan memerah berharap bisa mengelupas sebab rasa jijik akan tubuh sendiri mulai menggandrungi, aku merapatkan pahaku sambil menahan rasa sakit. Kepalaku mendongak sementara mulutku yang sengaja kututup rapat mulai merintih kesakitan.
Akhirnya aku mampu mengeluarkan urin. Walaupun rasa sakitnya membuat ujung kaki hingga tubuhku menggigil ngilu.
Kata Pandu itu tidak menyakitkan. Kata Pandu rasanya enak. Kata Pandu dijamin bikin ketagihan. Sebaliknya, aku malah merasa trauma, jijik, dan kesakitan. Mataku mulai berembun saat menyadari bahwa percakapanku dengan Pandu melalui pesan teks yang awalnya terdengar nakal dan menyenangkan: "Pakai saja stoking kamu." Atau "Jangan hapus riasan wajah kamu, biar aku nikmati nanti malam." Malah membuatku mual dan jengkel.
Pandu Angkasa Senja. Namamu tidak seindah perbuatanmu. Aku kesakitan, sementara kamu berseloroh di depan wajahku---masih bertelanjang dada dengan aroma keringat menyengat dan asap rokok berhambur di cuping hidungku sambil berkata, "Itu cuman seks, Genta. Santai aja!"
Air mata segera meleleh membasahi pipi. Hatiku remuk berkeping-keping diinjak cinta dan diludahi pasangan sendiri.
Tahi!
***
HARI Minggu yang jauh dari kata menyenangkan, berbeda saat aku masih berusia 9 tahun. Saat bangun tidur mendapati Ibu tengah memasak gulai ayam yang aroma karinya merangsang perutku untuk mengambil dengan serakah seporsi nasi hangat, lengkap dengan potongan ayam bagian dada dan paha bawah.
Tindakanku malah mengundang senyum bahagia Ibu sebab tahu putri sulung kesayangannya memakan dengan lahap masakan buatannya, sementara Ayah sedang membangunkan Sagara yang masih terlelap dan ogah membuka mata hingga ia menjanjikan akan jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan baru bocah itu bangun dengan suara lantang dan penuh semangat yang menyeruduk seisi rumah.
Kali ini hari Minggu menjadi dampak mengerikan dari perbuatan tindak senonoh yang aku dan Pandu lakukan pada hari Sabtu sore. Langit senja yang selalu menyimpan memori indah dan membuat mata terpana, lembayung sore yang memberikan kesan romantis apalagi menikmatinya sambil menyeruput susu hangat (sebab aku tak suka kopi), kini menyimpan kenangan buruk yang mustahil bagiku membuangnya bulat-bulat.