Naleeka hanya menganggukkan kepala kemudian memberikan lagi selimut bulu domba pemberian Ayahnya.
"Naleeka tidak suka ya?"
"Tidak, aku meminjamkan ini agar Ayah tidak kedinginan lagi, terimalah, aku mohon. Nanti aku akan kembali untuk mengambilnya bersama Ibu, oke?"
Ayah tertawa mendengar tawaran Naleeka kemudian menerima selimut tersebut.
Kapal kayu itu kembali digulung ombak, Naleeka menyeka air matanya sambil membalas lambaian tangan Ayah dan Junior yang tersenyum di belakangnya. Sungguh, Naleeka akan merindukan mereka.
***
"Naleeka, sayang, bangun, Nak. Bangun."
Ibu menggoyangkan badan Naleeka dengan lembut, gadis itu mengerdip-ngerdipkan mata perlahan, sementara cahaya mentari mulai menyingsing langit hitam yang ada di belakang Ibunya.
"Ibu, maafkan Naleeka ketiduran di kapal ini."
Ibu segera merengkuh Naleeka erat dan menangis dalam pelukan haru itu. Dari kejauhan, Naleeka melihat dua buah perahu kayu yang semalam dilihatnya telah kembali, warga yang menaikinya berbondong-bondong turun dan saling membantu menggotong kantung jenazah berwarna hitam untuk di bawa ke rumah sakit.
Naleeka menarik napas panjang, berupaya sekuat tenaga agar tangisnya tidak pecah.
"Ibu, kata Ayah suatu saat nanti ia akan mengajak kita pergi ke pulau mercusuar. Aku jamin Ibu pasti menyukainya."
Tangis Ibu semakin pecah, Naleeka mengusap-usap punggung Ibu untuk memastikan bahwa ia tidak merasa sendirian dan berbagi rasa sakit akan kehilangan orang yang mereka sayang.
Air mata Naleeka meluncur deras dan ia menyadari satu hal yang mengulas senyum lebar di wajahnya.Â