Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Katakan Abara jika Bersua dengannya Lagi

24 Agustus 2024   04:20 Diperbarui: 24 Agustus 2024   10:27 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya kuda yang ditunggangi berhenti, jatuh dengan bunyi keras di atas pasir yang panas, melempar Abara ke depan hingga bibirnya yang kering mencium butiran pasir.

Lelaki itu terguling tiga kali seraya membuka penutup wajah sebelum akhirnya terduduk dengan napas yang berat dan wajah diselimuti pasir. Ia memaki-maki kudanya, selanjutnya mendongak seraya menyipitkan mata. Kini giliran sang matahari yang terik dimakinya sesuka hati. 

Tindakannya justru membuat dahaga semakin menggerogoti lidah dan tenggorokan yang kering.

***

Mulutnya tak lagi bisa memproduksi saliva. Abara berusaha mengecap lalu menelan ludah, tetapi yang ditelan hanyalah udara kosong nan hampa. Dalam hati Abara berharap, seharusnya ia mati saja di medan pertempuran bersama pasukannya.

Biarkan kepalanya ditebas oleh pedang panjang yang melengkung kemudian menggelinding dan diarak oleh lawan, sementara literan darah memuncrat dari leher tak berkepala---membanjiri permadani pasir itu.

Biarkan saja tubuhnya yang mengenakan lempengan perak itu ditembus oleh anak panah hingga jantungnya meletus, Abara pun sulit bernapas sekalipun rahangnya megap-megap.

Namun takdir berkata lain.

Mereka masih ingin bercanda dengan Abara lewat sengatan terik matahari serta burung nasar yang terbang mengelilingi tubuh ringkihnya. Abara tak ubahnya mayat hidup yang tak bisa mati.

Kesatria yang lahir di wilayah barat Persia itu selamat dari pembantaian, saat pasukan utusan kekaisaran berusaha menduduki kerajaan kecil di wilayah Sungai Nil bagian Timur.

Andaikan kerajaan itu ditaklukkan, maka Semenanjung Persia adalah milik Kekaisaran Persia seutuhnya. Namun yang dipetik oleh Abara dan pasukannya adalah penyergapan serta kekalahan telak.

Entah apa yang harus Abara sampaikan kepada kaisar. Yang jelas, untuk berdiri saja dia sudah tak sanggup. Terpaksa pedang bernodakan darah kering itu dilempar, lapisan perak mengilap yang melindungi tubuh dan kepala dibuang entah ke mana untuk mengurangi beban.

Abara ingin sekali menukar semua kekayaannya demi segelas air madu yang manis. Ia bahkan berpikir untuk rela menukar salah satu selir mudanya agar bisa melepas dahaga yang mulai menyiksa dan membunuh kesadarannya.

Ia memekik seperti anak kecil yang tersasar di tengah pasar. Memohon entah kepada siapa agar dilepas dari jerat siksa dahaga. Langit tetiba berubah menjadi gelap. Awan mendung bergemuruh membuat kudanya bangkit kemudian lari tunggang-langgang meninggalkan Abara.

Lelaki itu akhirnya tersenyum tipis. Setidaknya jika ia mati, tak perlu lagi melawan rasa haus yang membunuhnya secara perlahan. Seiring dengan awan mendung yang hampir sempurna menyelimuti hamparan pasir berwarna kuning keemasan, terdengar tawa parau menggema yang membuat bulu kuduk Abara merinding.

Awalnya ia berpikir bahwa itu hanyalah bunyi aneh yang dihasilkan sebelum badai. Namun, semakin dekat makin jelas pula bahwa suara itu adalah sebuah tawa yang parau.

Aneh, tawanya berat dan menggelegar.

Abara mendongak lagi ke arah langit yang telah gelap sempurna. Kegelapan itu menelannya dengan serakah, sehingga ia tak bisa melihat apapun kecuali bunyi tiupan angin yang ganas dan pasirnya memaksa Abara memejamkan mata serta menutup hidung dengan kain hitamnya.

Di tengah gemuruh badai itu, suara tawa kembali menggema dan mendekat. Tetapi Abara tak kunjung bersua dengan pemilik dari tawa tersebut. Sesekali ia membuka kelopak mata, tetapi segera tertutup sebab badai pasir menghantamnya dengan kejam.

Abara hanya berpasrah. Ia menerima kenyataan bahwa kematian akhirnya puas bermain-main dengannya. Abara merasakan dadanya sesak, paru-parunya telah penuh dengan pasir. Seumur hidupnya selama 26 tahun, puluhan kali memenangkan pertempuran di bawah panji Persia, tak pernah terpikirkan bahwa kematiannya adalah ditelan bulat-bulat oleh badai pasir.

Tawa itu kembali terdengar---menggema. Mengganggu konsentrasi Abara yang sudah merelakan kehidupannya. Rasa takut mulai mengungkung tengkuk hingga jemari kakinya.

Muncul sebuah perasaan yang memacu adrenalin Abara. Sebuah rasa yang membangkitkan hasrat hidup serta insting bertahan yang menendang-nendang perut dan dada.

Abara berdiri kemudian berlari ke sembarang arah, mempercayakan insting untuk membawanya ke tempat aman. Sementara lengannya dijadikan tameng bagi mata dan hidung.

Ia dapat bernapas lega kala sebuah batu besar menjadi pelindungnya dari badai pasir yang bergemuruh dengan ganas. Abara terbatuk-batuk, mengecap rasa besi dari mulutnya lalu memuntahkan darah dan pasir. Hal ini terjadi sebanyak tiga kali.

Tawa yang sedari tadi meneror Abara terdengar lagi dari arah belakangnya. Dengan sisa keberanian dan darah yang masih mengalir dari mulut membasahi dagu, ia segera menengok.

Betapa terkejutnya Abara saat mengetahui bahwa sumber suara itu adalah istri pertamanya. Seorang wanita bermata teduh dengan ekor celak mata tajam, tubuh semampai dibalut sutra putih tembus pandang, dan perut yang telanjang.

Abara sungguh tak percaya dengan apa yang dilihatnya. 

Istri pertamanya, tetapi mengapa?

"Kau siapa?"

"Abara, Tuanku. Aku istrimu, istri pertamamu."

Kepala Abara menggeleng tak percaya. Istri pertamanya telah mati dua tahun lalu setelah melahirkan putra sulungnya, mengapa ia kembali menemui Abara di saat-saat seperti ini? Di tengah badai pasir?

"Kau sudah mati, wahai istriku. Kau sudah mati," pekik Abara, matanya terbelalak kemudian terduduk sambil menunjuk istrinya ketakutan.

Perempuan berwajah pucat itu berlutut di hadapan Abara. Badai pasir dan kegelapan masih mengungkung keduanya. Namun muncul cahaya samar dari istrinya. Bunyi gemuruh yang menabrak gendang telinga pun sungguh mengganggu pendengaran.

"Akulah kejujuran, Tuanku. Kejujuran yang muncul di saat-saat terakhir, sebelum ajal mencabut cahaya terakhir di dalam sukma seseorang."

Kejujuran? Saat saat terakhir? 

Abara yang sudah tak sanggup menopang berat tubuhnya lagi, kini terbaring lemas di balik batu besar yang melindunginya dari badai pasir.

"Aku selalu mencintai istri pertamaku," kata Abara lemah, "Aku pergi berperang agar tak perlu lagi merasa kesepian saat tahu bahwa rumah---tempat tinggalku, tak lagi hangat ketika kau tiada." Abara terbatuk-batuk, pandangannya mulai kabur.

"Aku menikah dan bercinta dengan lima selir yang memiliki rupa sepertimu. Namun, tak ada satu pun yang serupa dengan ketulusan serta kasih sayangmu. Aku hilang arah ..." Abara muntah darah---lagi, kini berwarna hitam dan napasnya mulai melambat. "Sejak saat itu, aku tidak berarti apa-apa, aku ingin segera berjumpa denganmu, lagi."

Istri pertamanya melayang tepat di depan wajah Abara, masih dengan perangai sama, senyum dingin yang sama pula. "Kau akan segera pulang, Tuanku. kita bisa hidup bersama-sama lagi."

Prajurit itu mengulas senyum tipis. Badai pun mereda, begitu pula embusan napas terakhir Abara yang pergi ke alam sana bersama yang tercinta---istri pertamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun