Abara berdiri kemudian berlari ke sembarang arah, mempercayakan insting untuk membawanya ke tempat aman. Sementara lengannya dijadikan tameng bagi mata dan hidung.
Ia dapat bernapas lega kala sebuah batu besar menjadi pelindungnya dari badai pasir yang bergemuruh dengan ganas. Abara terbatuk-batuk, mengecap rasa besi dari mulutnya lalu memuntahkan darah dan pasir. Hal ini terjadi sebanyak tiga kali.
Tawa yang sedari tadi meneror Abara terdengar lagi dari arah belakangnya. Dengan sisa keberanian dan darah yang masih mengalir dari mulut membasahi dagu, ia segera menengok.
Betapa terkejutnya Abara saat mengetahui bahwa sumber suara itu adalah istri pertamanya. Seorang wanita bermata teduh dengan ekor celak mata tajam, tubuh semampai dibalut sutra putih tembus pandang, dan perut yang telanjang.
Abara sungguh tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Â
Istri pertamanya, tetapi mengapa?
"Kau siapa?"
"Abara, Tuanku. Aku istrimu, istri pertamamu."
Kepala Abara menggeleng tak percaya. Istri pertamanya telah mati dua tahun lalu setelah melahirkan putra sulungnya, mengapa ia kembali menemui Abara di saat-saat seperti ini? Di tengah badai pasir?
"Kau sudah mati, wahai istriku. Kau sudah mati," pekik Abara, matanya terbelalak kemudian terduduk sambil menunjuk istrinya ketakutan.
Perempuan berwajah pucat itu berlutut di hadapan Abara. Badai pasir dan kegelapan masih mengungkung keduanya. Namun muncul cahaya samar dari istrinya. Bunyi gemuruh yang menabrak gendang telinga pun sungguh mengganggu pendengaran.