"Akulah kejujuran, Tuanku. Kejujuran yang muncul di saat-saat terakhir, sebelum ajal mencabut cahaya terakhir di dalam sukma seseorang."
Kejujuran? Saat saat terakhir?Â
Abara yang sudah tak sanggup menopang berat tubuhnya lagi, kini terbaring lemas di balik batu besar yang melindunginya dari badai pasir.
"Aku selalu mencintai istri pertamaku," kata Abara lemah, "Aku pergi berperang agar tak perlu lagi merasa kesepian saat tahu bahwa rumah---tempat tinggalku, tak lagi hangat ketika kau tiada." Abara terbatuk-batuk, pandangannya mulai kabur.
"Aku menikah dan bercinta dengan lima selir yang memiliki rupa sepertimu. Namun, tak ada satu pun yang serupa dengan ketulusan serta kasih sayangmu. Aku hilang arah ..." Abara muntah darah---lagi, kini berwarna hitam dan napasnya mulai melambat. "Sejak saat itu, aku tidak berarti apa-apa, aku ingin segera berjumpa denganmu, lagi."
Istri pertamanya melayang tepat di depan wajah Abara, masih dengan perangai sama, senyum dingin yang sama pula. "Kau akan segera pulang, Tuanku. kita bisa hidup bersama-sama lagi."
Prajurit itu mengulas senyum tipis. Badai pun mereda, begitu pula embusan napas terakhir Abara yang pergi ke alam sana bersama yang tercinta---istri pertamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H