Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Juwita Suka Berlenggang!

11 Agustus 2024   18:49 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:27 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sungguh Pak, saya sedang bersolek seraya mendengarkan radio, menunggu tembang-tembang dari Bing Slamet. Namun apa daya, mereka kerap hadir dalam bentuk bunyi-bunyi dan gemuruh yang berjubel sehingga mengganggu waktu dan tenaga saya," gadis itu berucap menggebu-gebu, seperti pahlawan yang menyuarakan perlawanan lewat radio saat era kemerdekaan.

Penyiar radio menyesap rokoknya, si gadis tahu ia tak suka asap rokok, tetapi ia tahan keinginan untuk batuk padahal tenggorokannya sudah gatal, "Kau sudah pernah mencoba untuk melakukan pengusiran? Memanggil ustaz atau pendeta? Sebab biasanya, mereka hadir karena dua kemungkinan: pertama mereka hanya ingin diperhatikan, atau kedua ada urusan di dunia yang mereka pikir belum selesai."

Gadis itu memiringkan kepala ke arah kanan dan menautkan sorot matanya kepada si penyiar radio lekat-lekat, seakan ada hal serius yang ingin disampaikan, "Apapun alasannya, saya kira mengabaikan mereka adalah cara yang paling tepat. Untuk saat ini, mereka hanya hadir dalam bentuk suara, kadang kala ada anak kecil yang muncul di kolong ranjang, selagi mereka belum berniat untuk membuat saya susah tidur. Saya pikir, pidato dari Presiden Soeharto di radio dan suara bapak yang setia menemani, cukup menjadi senjata untuk mengabaikan kehadiran mereka."   

Gelak tawa yang lepas menjadi respons bagi si gadis malam hari itu. Namun ia harus kembali pada kenyataan dan sekali lagi, anak kecil di bawah ranjang kembali membuat kegaduhan yang memaksanya menjerit frustrasi seraya menutup kedua telinganya.

Bunyi pun hening sesaat.

Kini gadis itu meratakan perona pipi. Ia terlihat puas dengan hasil karyanya sendiri, beberapa kali dia memuji dirinya dengan sebutan jelita hingga juwita malam, kemudian si gadis menyemprotkan parfum ke bagian tubuhnya seperti tengkuk, ketiak, dan dada persis cara pemakaian yang dibaca melalui iklan surat kabar. 

Semerbak harum melati menyeruak ke seisi kamar. Wajahnya yang sudah merona dihiasi senyum lebar nan manis tampak semakin bahagia saat tahu, penyiar radio bersuara bariton kesukaannya hendak memutar lagu berjudul Nurlela yang ditembangkan oleh Bing Slamet. Si gadis menyangga dagunya dengan kedua tangan, ia menggerakkan kepala ke kanan lalu kiri.

Sungguh kaki dan tangannya sudah tak tahan, ia beranjak lagi dari bangku kecil dan berlenggang mengikuti irama lagu. Sesekali, juwita malam itu bersenandung dan membiarkan rambut hitam legamnya yang panjang bergerak lincah. Ia tertawa lepas, merasakan bahagia yang hadir dalam bentuk lagu, malam, dan riasan wajah.

Tinggal menunggu sang pujangga yang entah pergi ke mana.

Gedor suara pintu yang keras sebanyak tiga kali kembali muncul. Si gadis tak acuh dan terus berlenggang. Suara tangis dari kolong ranjang turut menyertai bahkan semakin keras. Ah, tidak peduli! batin si gadis masih menari dengan lincah ditemani lagu Nurlela yang ia suka.

Akhirnya pintu terbuka lebar disertai bunyi gedebuk, sontak seorang perempuan dan lelaki paruh baya berpakaian serba hitam dengan kerah berwarna putih datang memeluk sebuah buku di dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun