Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Juwita Suka Berlenggang!

11 Agustus 2024   18:49 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:27 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Lonely Castle in the Mirror

Cermin dan perempuan adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Seperti malam ini, di sebuah kamar dengan penerangan lampu berpendar kuning lengkap dengan suara sember radio tua menyiarkan lagu-lagu lawas tahun 60-an. Duduklah di depan meja rias seorang gadis berkulit sawo matang sedang menyisir rambut hitamnya yang menyentuh pinggang.

Senyum lebar terulas dan mata beloknya berseri-seri saat menatap alat-alat rias yang berserakan di atas meja. Ada gincu, perona pipi, maskara, hingga minyak zaitun yang dibiarkan tergeletak. 

Selanjutnya, ia meraih gincu merah bata untuk dipoles pada bibir pucatnya, tetapi pandangannya teralih dengan bunyi gradak-gruduk yang berasal dari bawah ranjang kayu.

***

Sungguh gadis itu muak dengan bunyi-bunyian yang kerap muncul dari sudut-sudut rumah ini. Terkadang suaranya muncul dari kolong ranjang, kerap kali hadir dalam bentuk pintu yang digedor sebanyak tiga kali. Saking muaknya, ia dipaksa oleh keadaan untuk berdamai.

Si gadis yang mengenakan gaun biru dengan rok berenda memutuskan untuk beranjak dari bangku kecil. Ia perlahan menghampiri sumber suara, melongok ke kolong, dan persis seperti dugaannya; ada seorang anak perempuan meringkuk sambil membelakanginya. 

"Diam, ya, jangan berisik, jangan gaduh," pinta si gadis malah membuat isak tangis anak itu semakin keras, "Diam, saya mohon, jangan berisik!" lanjutnya seraya menutup kedua telinga.

Ia kembali duduk pada meja rias, target selanjutnya adalah mengeraskan volume radio sehingga menyamarkan tangis anak perempuan itu. Suara penyiar yang berat menyeruduk seisi ruangan, kabar berita didengarkan dengan khidmat oleh si gadis mulai dari Presiden Soeharto yang menetapkan pendanaan proyek roket ionosfer dan proyek atom pada Departemen Hankam per November tahun 1970, hingga salah satu hunian warga di Sarinah kemalingan.

Dalam lubuk hatinya si gadis merasa beruntung sebab, dia tidak harus kerepotan menghadapi maling yang membawa sajam atau terpaksa mengurangi waktu tidur seperti anggota Departemen Hankam demi mengerjakan proyek kebumian milik Presiden Soeharto.

Tetapi tugasnya justru lebih abstrak karena harus mengabaikan bunyi gaduh di rumahnya dan anak perempuan yang kerap menangis di bawah ranjang. 

Dalam angan-angannya, si gadis sedang duduk di hadapan penyiar radio yang selalu didengarkan pada pukul 7 hingga 9 malam. Di depan mikrofon itu, keduanya berbincang tentang entitas yang mengganggu. 

"Sungguh Pak, saya sedang bersolek seraya mendengarkan radio, menunggu tembang-tembang dari Bing Slamet. Namun apa daya, mereka kerap hadir dalam bentuk bunyi-bunyi dan gemuruh yang berjubel sehingga mengganggu waktu dan tenaga saya," gadis itu berucap menggebu-gebu, seperti pahlawan yang menyuarakan perlawanan lewat radio saat era kemerdekaan.

Penyiar radio menyesap rokoknya, si gadis tahu ia tak suka asap rokok, tetapi ia tahan keinginan untuk batuk padahal tenggorokannya sudah gatal, "Kau sudah pernah mencoba untuk melakukan pengusiran? Memanggil ustaz atau pendeta? Sebab biasanya, mereka hadir karena dua kemungkinan: pertama mereka hanya ingin diperhatikan, atau kedua ada urusan di dunia yang mereka pikir belum selesai."

Gadis itu memiringkan kepala ke arah kanan dan menautkan sorot matanya kepada si penyiar radio lekat-lekat, seakan ada hal serius yang ingin disampaikan, "Apapun alasannya, saya kira mengabaikan mereka adalah cara yang paling tepat. Untuk saat ini, mereka hanya hadir dalam bentuk suara, kadang kala ada anak kecil yang muncul di kolong ranjang, selagi mereka belum berniat untuk membuat saya susah tidur. Saya pikir, pidato dari Presiden Soeharto di radio dan suara bapak yang setia menemani, cukup menjadi senjata untuk mengabaikan kehadiran mereka."   

Gelak tawa yang lepas menjadi respons bagi si gadis malam hari itu. Namun ia harus kembali pada kenyataan dan sekali lagi, anak kecil di bawah ranjang kembali membuat kegaduhan yang memaksanya menjerit frustrasi seraya menutup kedua telinganya.

Bunyi pun hening sesaat.

Kini gadis itu meratakan perona pipi. Ia terlihat puas dengan hasil karyanya sendiri, beberapa kali dia memuji dirinya dengan sebutan jelita hingga juwita malam, kemudian si gadis menyemprotkan parfum ke bagian tubuhnya seperti tengkuk, ketiak, dan dada persis cara pemakaian yang dibaca melalui iklan surat kabar. 

Semerbak harum melati menyeruak ke seisi kamar. Wajahnya yang sudah merona dihiasi senyum lebar nan manis tampak semakin bahagia saat tahu, penyiar radio bersuara bariton kesukaannya hendak memutar lagu berjudul Nurlela yang ditembangkan oleh Bing Slamet. Si gadis menyangga dagunya dengan kedua tangan, ia menggerakkan kepala ke kanan lalu kiri.

Sungguh kaki dan tangannya sudah tak tahan, ia beranjak lagi dari bangku kecil dan berlenggang mengikuti irama lagu. Sesekali, juwita malam itu bersenandung dan membiarkan rambut hitam legamnya yang panjang bergerak lincah. Ia tertawa lepas, merasakan bahagia yang hadir dalam bentuk lagu, malam, dan riasan wajah.

Tinggal menunggu sang pujangga yang entah pergi ke mana.

Gedor suara pintu yang keras sebanyak tiga kali kembali muncul. Si gadis tak acuh dan terus berlenggang. Suara tangis dari kolong ranjang turut menyertai bahkan semakin keras. Ah, tidak peduli! batin si gadis masih menari dengan lincah ditemani lagu Nurlela yang ia suka.

Akhirnya pintu terbuka lebar disertai bunyi gedebuk, sontak seorang perempuan dan lelaki paruh baya berpakaian serba hitam dengan kerah berwarna putih datang memeluk sebuah buku di dada.

Perempuan yang menggedor itu langsung menarik anak kecil yang sedari tadi berada di kolong ranjang. Ia menyeka air mata kemudian merengkuhnya erat.

Sementara lelaki misterius tersebut menatap si gadis dengan hati-hati. Ia membuka buku yang sedari tadi dibawa, tak luput sebuah kalung yang diikat pada kepalan tangan, ujungnya menjuntai lalu bergerak mengikuti gaya gravitasi. 

"Sesuai janjimu saat kita bersua seminggu lalu, pergilah, jangan ganggu anak itu lagi. Aku berdoa agar jiwamu damai di alam sana," kata lelaki itu lirih.

Gadis yang tampak cantik itu berlenggang untuk terakhir kali pada bagian akhir lagu yang ia sukai. Air matanya meluncur saat tahu ini adalah tarian dan nyanyian terakhirnya.

"Seperti janji saya. Saya akan pergi."

Lelaki yang selesai merapalkan doa mengangguk. Ia melihat si gadis perlahan-lahan hilang ditelan oleh cahaya berpendar kuning.

(Jakarta, 11 November 1970).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun