Mohon tunggu...
Rangga Babuju
Rangga Babuju Mohon Tunggu... -

BABUJU adalah Komunitas Penggiat Kajian Sosial dan Budaya Bima dan intens dalam analisis serta Investigasi & Advokasi Budaya & Konflik

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gunung Sangiang: Potensi yang Tersembunyi Antara Mitos dan Realita

20 Mei 2014   08:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_337068" align="aligncenter" width="300" caption="Gunung Sangiang menyimpan Sejuta Pesona"][/caption]

Gunung Sangiang adalah Gunung yang memiliki banyak Versi dan Mitos, baik tentang asal muasal, catatan sejarah hingga culture asal warga disana. Sebab hingga saat ini Warga gunung Sangiang tidak pernah mengakui dirinya sebagai Orang Wera yang berada diseberang pulau itu, demikian juga dengan warga Sangiang Darat yang ditinggal didaratan Wera juga sepenuhnya cenderung menganggap diri bukan sebagai orang Wera. Mereka lebih memilih diri mereka sendiri sebagai Warga Sangiang Pulau seperti keberadaan Suku Bajo disaentero nusantara.

Gunung Sangiang terletak disebelah Utara Kabupaten Bima, ujung timur Pulau Sumbawa Propinsi NTB. Tidak banyak orang yang ke Gunung Sangiang selain warga Sangiang sendiri dan beberapa kelompok masyarakat pemancing ikan dan pemburu rusa atau menjangan. Gunung Sangiang secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Gunung ini berjarak sekitar 10 mil atau 25 km dari Wera sebagai daratan pulau Sumbawa.

Gunung Sangiang adalah salah satu gunung Api aktif di Indonesia, dalam catatan PVMBG (Badan Vulaknologi dan Mitigasi Bencana Geologi), Gunung Sangiang berstatus waspada. Status tersebut dikeluarkan sejak Oktober 2009 hingga saat ini dan belum berubah menjadi Normal. Namun masyarakat lereng Sangiang mengaggap hal itu biasa dan tak dikhawatirkan sebab mereka (Warga gunung Sangiang) punya cara tersendiri secara turun temurun dalam memastikan apakah gunung tersebut akan menyemburkan magma (meletus) atau tidak.

Dalam Rangka Dies Natalis Komunitas BABUJU ke 5, Civitas BABUJU mengadakan kegiatanChamping di lereng gunung Sangiang pada 17 – 18 Mei 2014. Berikut catatan potensi hasil dari eksplor kisah bertutur dari bibir pantai Sangiang dipagi hari bersama Ompu Reho (Ompu adalah panggilan orang tua yang sudah berumur) dan Ayang Syaifullah sebagai keturunan warga pulau Sangiang dihadapan civitas Komunitas BABUJU.

SEJARAH

Tidak ada yang tahu, sejak kapan warga mendiami Gunung Sangiang, tetapi berdasarkan cerita dari para orang tua, bahwa masyarakat tinggal di Sangiang sudah sejak jaman Ncuhi(jaman sebelum Kerajaan dikenal di Bima). Konon, warga Sangiang memiliki keterkaitan darah antara Warga Palue dilereng Gunung Rokatenda – Flores NTT. Warga Paluemenyebut dirinya sebagai Attapalue sedangkan orang Sangiang menyebut diri mereka sebagai Attasangia. Diakui pula hingga hari ini, bahwa warga Palue yang hidup dilereng dan punggung gunung Rokatenda adalah asli Attasangia (Baca: orang Sangiang). Mereka ke Palue karena menolak memeluk ajaran Agama Islam, akibat syarat untuk masuk Islam adalah harus disunat (memotong kulit depan kelamin lelaki).

Kepala Suku di Sangiang tidak menyebut diri mereka sebagai NcuhiGalarang atauPunggawa, namun gelaran Dallu. Di Manggarai, Dallu adalah Kepala suku seperti halnya di Bima disebut Ncuhi. Ketika masa Kerajaan maupun Kesultanan, Ncuhi berubah menjadiJeneli atau Punggawa dan pada masa Swatrantra maupun Swapraja (setelah Kemerdekaan NKRI) mulailah disebut sebagai Gelarang dan kini Kades atau Lurah. Tetapi di Pulau Sangiang, kepala Suku sejak warga Attasangia menempati Pulau Sangiang hingga saat ini tetap menyebut Dallu sebagai Pemimpin Kelompok masyarakat.

Dallu terakhir adalah Dallu H. Jamaluddin atau dikenal dengan ‘Abu Wadi’, yang memimpin warga Sangiang sejak tahun 50an, sebelum itu dipimpin oleh ‘Dallu Abu Jao’, dengan perkiraan menjadi Dallu Sangiang sejak awal abad ke 19 atau tahun 1900an awal. Nisan kuburan ‘Dallu Abu Jao’ masih ada hingga saat ini, meski sudah dikelilingi oleh semak belukar. Dan Uma Dallu (Rumah Tua) juga masih berdiri kokoh. Uma Dallu diperkirakan berumur 500an tahun, sebab, konon, ‘Dallu Abu Wadi’ maupun ‘Dallu Abu Jao’ (Bapak dari Abu Wadi) tinggal disitu secara turun temurun siapapun yang menjadi DalluUma Dallusecara turun temurun menjadi rumah kepala Suku, istilah sekarang adalah rumah dinas. Konon, di Uma Dallu yang masih berdiri kokoh ini, La Kai (Sultan Abdul Kahir), Sultan Pertama Bima, pernah tinggal beberapa tahun saat dikejar oleh Salisi (pamannya sendiri) saat akan menuju Kesultanan Gowa sekitar tahun 1610. Prasasti yang membuktikan bahwa La Kai pernah tinggal di Uma Dallu itu adalah Wadu Kahampa (Batu Kesepakatan), yang beberapa tahun lalu sempat bersengkata dan dibuang ke laut oleh seorang Ustadz yang menganggap itu sirik dan Bupati Bima (alm) ferry Zulkarnaen, harus turun tangan menangani sengketa tersebut.

Warga Pulau Sangiang juga yakin bahwa sebelum Datuk Dibanta maupun Datuk Ditiro (Syekh Pembawa Islam di Bima) menginjakkan kakinya di Bima, terlebih dahulu datang “Tujuh Wali” atau dikenal dengan “Wali Pidu” di Sulawesi juga sempat ada cerita tentang “Wali Pitu” demikian juga di Manggarai. Dua diantaranya meningga di Pulau Sangiang. Salah satu dari dua Wali yang dikubur di Pulau Sangiang bernama Syiekh Syamsuri. Kuburannya ada di punggung Gunung Sangiang dan masih bisa dijumpai. Diakui pula oleh 2 orang Juru Kunci Sangiang, Abu La Ebe (65thn) dan Pua Juwaidin (40thn). Kuburan kedua Syiekh tersebut menjadi legenda bagi banyak orang, tetapi bagi banyak warga Pulau Sangiang itu ada dan nyata. Kuburan itu terletak dipunggung gunung, dapat ditempuh dengan mendaki sekitar 5 jam perjalanan. Berada dibawah rimbunan 2 pohon besar dan rindang. Anehnya, kuburan tersebut selalu bersih dan tidak pernah dijatuhi oleh dedaunan apapun termasuk ditumbuhi oleh semak-semak. Warga pulau sangiang sering berziarah di 2 kuburan tersebut.

POTENSI

Dibalik kisah Mitologi maupun Mistiknya serta kebencanaannya, Gunung Sangiang ternyata memiliki banyak tempat yang eksotik. Tidak sedikit wisatawan yang melabuhkan jangkarnya di gunung Sangiang hanya untuk sekedar memancing, menginap diatas batu apung yang memang berada di Bibir pantai yang jernih serta diving maupun snokling.

Di pulau Sangiang terdapat perkampungan yang saat ini ditinggali oleh 8 KK, ada belasan rumah panggung dengan atap rumbia. Bila musim tanam ratusan hingga ribuan warga berpencar digunung Sangiang untuk berladang, bertani dan berkebun serta mengembala. Tidak saja warga Wera, tetapi warga dari Donggo serta Manggarai NTT juga ikut mengais rejeki dipulau ini.

Pulau yang subur ini ditumbuhi oleh berbagai tanaman, mulai dari Tomat, Cabe, Labu, jagung hingga kebun Jati. Ada satu kebun yang sempat dilewati oleh Rombongan, kebun tersebut ditanami Buah. Diantaranya tanaman Semangka terdapat juga tanaman Strowbery dan pohon Durian. Entah apakah Duriannya berbuah atau tidak tetapi Nampak subur. Dibeberapa lokasi terlihat deretan jagung, juga ada padi yang mulai menguning yang ditanam secara terasering (Orang Bima menyebutnya: Fare Oma).

Dari perkampungan (bagian barat daya) Pulau Sangiang, sekitar 4 kilometer kearah barat laut, terdapat lokasi yang bernama OI PETO. Air ini sangat jernih dan bila diminum terasa manis. Konon berasal dari Pohon Peto (penulis kurang tahu bahasa Indonesia pohon yang dikisahkan itu) yang berumur ribuan tahun diatas punggung gunung dan tertutup oleh ilalang. Sumber OI PETO tidak akan mengeluarkan air sedikit pun (kering) bila musim hujan. Dan akan mengalir deras dan jernih pada musim kemarau. Inilah yang membuatnya Unik dan Menarik untuk di kunjungi. Oleh banyak wisatawan dan dari pengakuan Warga Pulau Sangiang, Air tersebut adalah AIR AWET MUDA dan AIR JODOH. Percaya atau tidak pengakuan banyak warga yang pernah berburu Menjangan atau Rusa di Gunung Sangiang dan pernah meminum atau membasuh muka di OI PETO ini diyakini mengurangi atau memperlama proses penuaan pada wajah. Serta sebagian yang pernah ditanyai menyatakan, bahwa siapapun yang pernah membasuh Muka di OI PETO akan sangat mudah memancarkan aura cantik/ganteng dihadapan lawan jenis. Akibatnya, tidak sedikit yang membawa pulang dengan menggunakan jirgen maupun botol mineral.

Dibagian Timur tenggara Gunung Sangiang, sekitar 25 kilo dari perkampungan, terdapat lokasi yang bernama TORO JARA atau OI NONO JARA. Disini, anda jangan heran bila anda menggali pasir sekitar 2-5 meter dari bibir laut, anda akan mendapati Air tawar yang langsung bisa diminum. Ketika air laut surut, ambil jarak 3 meter lalu galilah sekitar 2 – 3 depa (30 – 100 cm), akan keluar mata air tawar yang tidak akan anda rasakan asinnya. Konon disini tempat singgahnya Pasukan Kaveleri (Pasukan Berkuda) kesultanan maupun Kerajaan Bima yang menuju Jeneponto sebagai pusat Pasukan Kavaleri Kerajaan Gowa pada waktu itu. Sehingga dinamakanlah tempat ini sebagai Oi Nono Jara (Air Minum Kuda) atau Toro Jara. Bagi Pencinta alam yang melakukan pendakian ke Puncak Gunung Sangiang, Lokasi ini menjadi Lokasi Star atau Pos I atau pos Navigasi Perbekalan. Tempat pengecekan bekal.

Dibagian utara gunung Sangiang, terdapat SO SEMPASEDA. So Sempaseda adalah So (Baca: Daerah) yang paling di hindari oleh penduduk maupun pemburu. Sebab disini adalah daerah panas bumi, yang masih mengeluarkan uap dari perut gunung. Di So Sempaseda, anda bisa melihat langsung alur sungai yang hingga kini masih mengalir air yang penuh dengan uap. Suhu panas air ini berasal dari sumber mata air yang berada dikawah Doro Api (puncak gunung bagian timur), meliwati punggung gunung yang menguarkan hawa panas sehingga sungai tersebut mengalirkan air panas dengan suhu 60 – 110 Derajat Celsius. Demikian pula ketika muara sungai ini yang berada dibibir pantai, ketika bertemu dengan air laut juga masih terasa hawa panasnya. Konon, di So Sempaseda inilah ‘kulit gunung’ yang tipis dari lubang magma yang naik ke puncak gunung.

Disore hari menjelang matahari terbenam, anda akan dimanjakan oleh fenomena puluhan hingga ratusan ribu kelelawar keluar dari sarangnya. Fenomena tersebut dapat anda saksikan di SORI BELANDA, sekitar 3 kilometer kearah timur tenggara dari Pemukiman Warga pulau Sangiang. Fenomena ini benar-benar indah saat sore menjelang. Kelelawar ini dikala pagi hingga sore menggantung dipepohonan pinggir pantai maupun di goa-goa sekitar SORI BELANDA. Disebut Sori Belanda, karena dilokasi ini pernah terdampar kapal Belanda yang sedang menuju Manggarai. Akibat kondisi alam yang tidak sesuai dengan mereka serta kekurangan makanan, akhirnya mereka tewas kelaparan disepanjang sungai jalur lava (sungai Lava Pijar) dan dikubur massal olah warga sekitar di lokasi tersebut. Kemudian dikenalah lokasi ini dengan sebutan Sori Belanda (Sungai Belanda).

Bibir pantai dan perairan diseputaran Gunung Sangiang merupakan Spot Memancing Maniak. Banyak didapati kapal-kapal Pesiar wisatawan domestic maupun mancanegara yang melabuhkan jangkar disekitar perairan ini untuk memancing dan Diving. Antara lain yang menjadi Favorit adalah daerah OI PETO, GUSU WALA, maupun di OI KALO. Di OI PETO hidup spesies Ikan Karapu, konon dipercaya sebagai Uma Karapu (Rumah Ikan Karapu), sedangkan di GUSU WALA hidup spesies ikan Kakap ekor merah dan Ikan Sunu. Demikian juga di OI KALO tempat berkumpulnya spesies Baronang (Bima: Uta Sancara). Banyak pejabat kabupatan Bima dan Pemprov NTB yang datang khusus di 3 lokasi ini hanya untuk mancing maniak.

PERBURUAN MENJANGAN

Pulau Sangiang menjadi pusat perburuan Rusa atau Menjangan di Pulau Sumbawa, setelah Savana Tambora. Tetapi harus di akui, bahwa menjangan di Pulau Sangiang lebih banyak dari jumlah yang ada di lereng atau savanna Gunung Tambora. Meski setiap tahun diburu oleh ratusan orang sejak puluhan tahun yang lalu, Menjangan di Pulau Sangiang tidak pernah punah dan berkurang. Meski demikian pihak pemerintah melalui PPA maupun KSDA sering melakukan patroli dan penjagaan di Pulau Sangiang dari warga yang berburu menjangan, karena dikhawatirkan akan punah. Namun warga Sangiang sendiri cukup heran, hampir setiap tahun ratusan pemburu masuk pulau Sangiang untuk berburu dan puluhan hingga ratusan menjangan didapat. Tetapi lagi-lagi, menjangan di Sangiang tidak pernah berkurang.

Ayang Saifullah membeberkan, bahwa di Sangiang Darat, ada keluarga pemburu menjangan. Sejak buyut, kakek, bapak hingga anaknya saat ini lihai berburu dan keturunan pemburu memang. Menurutnya sudah 4 generasi keluarga yang berburu menjangan di pulau Sangiang. Ada musim dimana ratusan orang pergi berburu di Pulau Sangiang, tradisi ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.

Berbagai jenis satwa burung pun ada di Pulau Sangiang, beberapa orang warga Sangiang darat yang ke Pulau Sangiang mengakui melihat beberapa ekor Burung Cenderawasih dan warga Pulau Sangiang menyebutnya Burung Irian Jaya. Mereka tau bahwa burung tersebut berasal dari Irian jaya karena pernah melihatnya ditelevisi. Baru-baru ini sekitar 2 tahun lalu, segerombolan burung (sekitar 5-7 ekor) Cenderawasi dijumpai oleh warga Donggo dan Manggarai yang berburu menjangan dibagian utara gunung Sangiang.

TRANSPORTASI MENUJU WERA DAN PULAU SANGIANG

Untuk menuju Pulau Sangiang, sangatlah mudah. Jika kita star dari Terminal Dara sebagai terminal Kota Bima, anda bisa naik Bemo D atau Ojek menuju Terminal Jatibaru – Kota Bima. Dari terminal Jatibaru ini ada bus yang standby menuju Kecamatan Wera. Ada yang berangkat pagi, siang dan sore sebagai pemberangkatan akhir. Dari Kota Bima menuju Wera, anda akan meliwati kecamatan Ambalawi. Kecematan Ambalawi sebelumnya bernama Wera Barat. Namun setelah pemekaran dari kecamatan Wera disepakatilah nama Ambalawi. Ambalawi juga memiliki banyak sekali Spot Wisata Pantai dan Panorama yang indah yang belum belum terekspos, seperti Terumbu Karang Oi Fanda, Panorama Pantai Mawu, hingga Doro Cumpu. Jarak tempuh dengan kendaraan umum dari Kota Bima menuju terminal Tawali Wera adalah 2 – 3 jam. Sesampai diterminal Wera, anda bisa menggunakan jasa ojek menuju Sangiang Darat. Dari Sangiang darat, banyak perahu dan Boat yang bisa mengantar anda menuju Pulau Sangiang.

Untuk biaya antar jemput dari Sangiang Darat ke pulau Sangiang dan sebaliknya (bila menginap) atau untuk Pulang Pergi bila tidak menginap anda harus merogok kocek Rp 500.000. bila menggunakan perahu biasa dengan mesin 2 silinder, jarak tempuhnya sekitar 90 – 120 menit. Sedangkan bila Boat yang anda tumpangi berselinder 4, maka anda hanya menghabiskan waktu untuk menyebrang sakitar 45 – 60 menit. Tetapi bila anda ingin mengeliliangi Pulau Sangiang dengan Boat tanpa singgah diberbagai Spot wisata yang disebutkan diatas, anda bisa star dari Perkampungan Pulau Sangiang, memutar dari arah barat ke utara, timur, selatan dan kembali ke Barat. Anda bisa menghabiskan waktu sekitar 3 – 4 jam dengan boat 4 silinder. Tentu biayanya pun bisa lebih dari 1 jutaan.

Setelah puas menikmati Pulau Sangiang dan kembali ke Sangiang Darat, anda bisa memesan Sarung Nggoli khas Wera (Sarung Tenun Khas Wera) dan madu hutan Wera yang dijamin keasliannya di Sangiang Darat. Anda juga bisa menyaksikan pembuatan kapal kayu dengan kapasitas muat 500 – 1.500 Ton daya angkut sambil menikmati sunset disore hari menjelang kembali ke Kota Bima. Konon katanya orang Sangiang Darat, tidak syah ke Sangiang Darat kalau tidak menikmati Ikan Bakar pinggir laut sangiang dengan Sambal Khasnya yang bikin raga selalu ingin ke Sangiang.

Nah, untuk ikan bakar ini, anda bisa pesan terlebih dahulu sebelum berangkat ke pulau sangiang pada warga pinggir pantai Sangiang darat. Dan akan dibakarkan dipinggir pantai sangiang Darat pada saat anda kembali dari pulau Sangiang. Entah apa maksud dan tujuannya. Namun warga Sangiang Darat percaya bahwa hal itu dapat membantu anda sehat bugar tanpa rasa lapar sedikit pun ketika melakukan perjalanan menuju Kota Bima.

Banyak hal lain yang belum di eksplor sebagai potensi warisan maupun potensi yang terpendam di Pulau Sangiang. banyak hal yang belum diungkap. Banyak potensi yang masih ditutupi dari warga luar pulau Sangiang. tetapi Warga Sangiang, baik Sangiang Darat maupun Pulau Sangiang, sangat ramah dan wellcome kepada siapa pun selama warga yang datang itu menghargai dan menghormati budaya dan adat masyarakat Sangiang.

Suatu waktu Penulis akan kembali ke Pulau Sangiang, mencoba menemukan potensi-potensi terpendam sebagai kekayaan Wisata, Budaya serta Warisan leluluhur. Masih banyak kata-kata tua, petuah serta Ngaji Tua warga Sangiang yang masih ingin Penulis eksplor. Termasuk cara dan ritual pembuatan Kapal Kayu atau Phinisi. Para pembuat dan Nakhoda Phinisi sebagian besar tidak ber-sekolah formal tetapi Teori dan sistimatika kerja mereka mengalahkan teori para Insinyur dan pasca Sarjana Kelautan. Disinilah letak nyataScholae menurut Plato, “Belajar Dibawah Pohon” dan prinsip pendidikan menurut Fucoult “Semua orang adalah Guru dan semua tempat adalah Sekolah”. Wallahualam bissawab.

----------------

Kota Bima, 19 Mei 2014

[caption id="attachment_337069" align="aligncenter" width="300" caption="Perjalanan Menuju Gunung Sangiang, 10 Mil dari Sangiang Darat"]

14005250312081891233
14005250312081891233
[/caption]

[caption id="attachment_337070" align="aligncenter" width="300" caption="Makam "]

14005250961969855003
14005250961969855003
[/caption]

[caption id="attachment_337072" align="aligncenter" width="300" caption="Rombongan Kegiatan"]

14005251821024491709
14005251821024491709
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun