Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Televisi Sontoloyo

25 Februari 2022   16:04 Diperbarui: 19 Maret 2022   12:28 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangannya meringkuk menutupi mukanya, dugaan saya dia malu tanduknya terlihat orang. Saya meninggalkannya begitu saja ,dan rupanya dia punya nyali kembali kedalam kelas.

Saya lihat kulit mukanya belum pulih sepenuhnya menjadi manusia, terlihat ada satu bagian yang tetap merah.

Sisa hari itu, kelas kosong, dan walaupun hari ini saya gagal membuktikan kepada orang-orang bahwa dia adalah anak setan yang sedang menyamar, saya akhirnya pulang seperti biasa saja, saya berjalan dengan harapan dapat membuktikan itu lain waktu.

Saya berjalan di belakang sonto loyo sambil mengepal-ngepalkan tangan saya untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu dia akan malih rupa lagi. Dan setelah berada tepat di depan ruang guru, sonto loyo si anak setan menyeringai, memperlihatkan raut muka yang licik dan penuh tipu daya.

Saya berjalan mendekatinya dan melepaskan jab tepat kearah mukanya sebelum ia sempat malih rupa.

                                   ***
Di ruang bimbingan konseling saya ditanya-tanyai mengenai alasan saya berkelahi, Saya bersumpah bahwa saya tidak sedang berkelahi, saya sedang menghajar anak setan yang berpotensi mengancam hajat hidup umat manusia jika di biarkan melakukan tipu daya begitu saja.

Andai saja guru BK melihat sonto loyo saat malih rupa tentu saja ia akan percaya, sayangnya sonto loyo tidak sadarkan diri, loyo seperti bonggol pisang tekena salam dari binjay.

Hasilnya saya di katakan ini dan itu, macam-macam dan diancam oleh guru bk bahwasanya dia akan mengadukan perbuatan saya pada bapak saya, rupanya guru bk tahu apabila bapak saya mantan jagoan.

Saya akhirnya menangis dan memohon ampun supaya urung di adukan. Saya bisa mati jika itu sampai terjadi, bukan karena saya takut di hajar bapak saya.

Saya lebih takut bapak kalap lalu menjual televisi kami dan saya tidak diperbolehkan nonton acara pukul-pukulan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun