Suatu siang setelah kami kehabisan ongkos bermain PS, kami putuskan untuk kembali kedalam kelas sebelum pak kemplu berpatroli.Â
Kami menyelinap ke dalam sekolah dengan jalan melompat pagar, disana ada pagar tembok yang lebih tinggi dari pada yang lain tapi menjadi tempat yang sempurna untuk menyelinap karena pagar tembok itu letaknya tersembunyi dari pantauan ruang guru, dan pula permukaannya rata tidak ditanam kaca atau kawat besi.
Resiko susah lebih kami pilih dan insyafi sebagai sebuah petualangan. Lagi pula kami telah mengenal sudut itu seperti tubuh kami sendiri.
Dengan bolos kelas kami merasa diri kami adalah jagoan sebab berani melawan aturan, kami bangga dan merasa mampu mengelabuhi siapa saja setelah cukup cerdik mengelabuhi guru-guru.
Dari atas pagar, pandangan kami bisa menjangkau sisi dalam sekolah, memandang halaman dimana kami biasa melakukan upacara di hari senin atau pramuka pada jumat sore, sedangkan di sisi luar sekolah pandangan kami dapat menjangkau seluruh jalan sampai depan pintu gerbang.Â
Disana terlihat seseorang perempuan gila tergelatak di seberang jalan, diam tidak bergerak. Perempuan gila itu memang selalu disana setiap saat, cukup menghibur warga sekolah sebagai tontonan atau bahan olok-olok.
Perempuan gila itu biasanya berjongkok di samping jalan sambil manggut-manggut dengan tatapan kosong, dia sudah ada disana sejak pertama kali saya masuk ke sekolah ini.
Saya sendiri tahu betul, tapi selama ini saya tidak berani melihatnya sebab saya akan ngaceng jika sebentar saja memperhatikan perempuan gila itu dan saya tidak mau diri saya menjadi bahan olok-olok.Â
Tidak lama setelah kami masuk kedalam kelas, terdengar suara seseorang berteriak memanggil-manggil pak kebon
" Juwita mati pak, cepatlah kemari, " warga sekolah termasuk saya berhamburan keluar kelas menghampiri sumber suara tersebut yang rupanya pak kemplu. Pak kemplu sedang bergidik ngeri, tampaknya panik dan sedih sedang bersarang pikirannya.
Dari jauh terlihat ia sedang mengguncang-guncangkan tubuh tidak berdaya itu.Â