Cahaya api langit mulai luntur menjadi kuning kemerahan, cahaya yang begitu centil dan malu-malu menembus jendela bus angkutan umum untuk menyapa kulit tubuh.
Siang itu aku seperti kebanyakan orang lainya, sedang meniti perjalanan dengan suasana sukacita untuk kembali kepada asingnya perantauan.
Membawa kenangan indah selama sepekan di kampung halaman.Â
" Pukul tiga " batinku, sambil melirik ke arah kaca ajaib di saku baju-ku.
Bus kemudian berhenti. Kami tiba di terminal bersama bergugus-gugus manusia lokal yang bertolak dari pelosok-pelosok, himpunan manusia dengan pelbagai gembolannya masing-masing.
Oleh - oleh yang digembol demi bisa beramah tamah ditempat rantau.
" Ting ting ting ting ting" Bunyi koin lima ratus perak yang dibenturkan ke tubuh besi pegangan tangan pak kernet.
Suara romantis penanda akhir perjalanan rombongan dan perintah kilat untuk meneruskan perjalanan kami ke masing-masing tempat tujuan.
Dengan gopoh, aku gendong ransel yang seminggu lalu enteng saja di punggung, kini menjadi tak keruan beratnya. Belum lagi beras dan kardus yang semuanya saja aku tidak tahu menahu dari mana asalnya.
Ku panggul beras di pundak kanan karena ku pikir tangan kananku cukup kuat menerima beban itu, dan ku dekap kardus bekas bungkus mi instan itu dengan tangan kiri-ku, lalu bergegas keluar dari dalam bus.
Setelah kakiku menapak di ubin terminal, dengan tanpa menoleh saja aku sudah tahu bahwa di depanku sudah berdiri kuli panggul untuk menawarkan bantuan tenaganya demi sejumlah rupiah.