Emily menahan napas. Memang seekor hewan, betapapun tak secerdas manusia, memiliki naluri dan memori yang baik. Apalagi terhadap kejadian tertentu dalam hidupnya, termasuk pada orang yang tak dikenalnya.
Namun syukurlah Lilian datang mencairkan suasana. "Thunder Runner masih dalam tahap pemulihan. Easy, Boy, Easy." ditepuknya lembut kuda itu beberapa kali untuk menenangkan.
Earth menjauh, sedikit lega. Namun Sky memandanginya semakin tajam saja. Biasanya Thunder Runner juga mau disentuh bahkan ditunggangi Ocean.
"Kudaku itu biasanya begitu jinak kepada siapapun. Sejak malam ia terluka itu, mungkinkah ia jadi takut pada semua orang, kecuali aku dan Lilian?" tanyanya kepada sang dokter wanita tua.
"Mungkin saja. Hewan itu bisa mengenali penyerangnya juga."
Emily dan Earth saling memandang. Gadis itu seakan memberi kode dengan matanya agar pemuda yang sedang berpura-pura menjadi kakaknya itu tetap tenang.
"Sekarang kita kunjungi Hannah. Dia di paviliun. Mari." Lilian berdiri setelah memastikan Thunder Runner telah kembali rileks.
"Tunggu dulu." Sky sedikit penasaran, "Kakak sedang di istal, kok tak sekalian menemui kuda kesayanganmu?"
Emily terperangah. "Silver Sea?"
Dalam hatinya, ia lagi-lagi menemui tembok ketakutan yang tiba-tiba membenturnya dengan keras.
"Oh, mungkin sebaiknya nanti saja, kita harus menginterogasi Hannah dulu." khawatir bila Silver Sea akan segera mengenali Earth karena bukan pemilik aslinya, Emily buru-buru mengajak semua orang untuk keluar istal.
"Baiklah." Sky masih merasa keheranan, pula dengan sikap canggung Emily sejak semalam.
"Kalian !!!" Hannah menyambut kedatangan 'tamu-tamunya' dengan wajah memilukan setengah terbakar yang masih dalam tahap pemulihan. Tak ada ekspresi senang, tentu saja. Hanya seringai mengerikan yang membuat siapa saja ingin berlari jauh-jauh darinya.
"Masih belum ingin mengakhiri nyawaku? Karena aku bukan teman kalian. Aku benci sekali kepada setiap orang yang berada di sini! Ha ha ha ha ha!"
Emily menatapnya dengan iba. "Mengapa kau menyerang dan bahkan membakar rumah mercu suar Lilian?" tanyanya selembut mungkin.
Earth memandang Si Tua dan lagi-lagi seketika amarah terpendamnya muncul. Ingin sekali rasanya mencekiknya di sini, di hadapan semua orang. Mumpung mereka bertemu lagi. Tapi tidak. Ia sedang menjadi 'Ocean' yang ramah dan tenang.
"Karena sama seperti Zeus, kalian tak benar-benar mengasihiku. Bahkan adik kalian yang diam-diam kupelihara! Ya, dia yang ada di dunia bawah sana bersama-sama ayah kalian yang sudah menjadi tengkorak!" Hannah tertawa-tawa membocorkan rahasia.
"Jadi benar, yang ada di bawah sana itu adik kami yang hilang, yang kami sangka sudah mati, dan juga ada jenazah ayah di sana?" Sky berusaha merangkai-rangkai kenyataan.
Aku ada di sini, Wanita Tua! - demikian Earth ingin sekali berbicara sekeras-kerasnya. Kalau saja mereka tak ada di sini, kau sudah kubinasakan!
Tapi Earth diam saja, berusaha keras menahan semua emosi, erat-erat mengepalkan kedua tangan. Emily sadar, maju menyentuh lengan pemuda itu dengan lembut, seolah berusaha menularkan kesabaran.
"Ayah kalian waktu kuseret ke bawah sana masih hidup dan entah apa yang lalu terjadi, aku tak tahu lagi! Sedangkan Earth tumbuh menjadi pribadi yang siap untuk membalaskan semua yang kalian perbuat atas hidupku !!! Sebentar lagi ia akan muncul dan menghabisi kalian semua!"
"Tidak mungkin! Ini semua karanganmu saja, betul bukan, Hannah?" Sky merasa kenyataan-kenyataan yang ia baru dengar membuatnya begitu kesal, marah, sekaligus shock. Ia pergi keluar paviliun.
"Aku akan menyusulnya dan mencoba menenangkan." Lilian ikut pergi.
Emily berkata, "Hannah, kau berhasil menghancurkan sebuah keluarga. Namun kau takkan mendapatkan kepuasan apa-apa. Sekarang, katakanlah padaku. Apa yang harus kita perbuat untuk mematahkan Kutukan Angka Tiga itu?"
"Itu tak dapat dibatalkan atau dipatahkan, tentu saja!" Hannah tertawa-tawa liar kembali. "Selama entah Makhluk Terkutuk itu atau ayahnya Si Setan Zeus masih hidup, mereka akan saling membunuh baik diri masing-masing maupun anggota keluarga lainnya hingga semuanya akan musnah! Musnah hingga puri ini menjadi sunyi sepi, menjadi pulau mati tanpa penghuni untuk selama-lamanya!"
Lalu Hannah terdiam. Tinju keras Earth telah mengakhiri suara jahatnya untuk sementara.
Emily menatap ngeri, "Earth! Mengapa kau begitu lagi? Ia masih begitu lemah dan sekarang tak sadarkan diri lagi karenamu."
Sahut Earth tenang, "Karena walau aku masih mendendam pada kakak-kakakku, selamanya aku takkan membiarkan wanita ini mengatur-atur hidupku lagi! Aku yakin, ia akan segera mendapat balasannya!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H