Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Episode 66: Cursed: Kutukan Kembar Tampan (Novel Romansa Misteri)

18 Juli 2023   14:28 Diperbarui: 18 Juli 2023   14:30 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Emily membeku seketika, ia bukannya mencoba kabur atau lari, namun terdiam dan menunggu. Akankah kemarahan Earth meledak lagi seperti yang sudah-sudah?

Ia siap dengan segala konsekwensi, sebab memang ia kabur dari sisi pemuda itu.

Namun tidak. Ajaibnya, Earth malah mengambil pedang terkutuk itu dengan begitu ringan dan santainya.

"Kuantarkan kau pulang ke puri, tapi aku tak ingin sampai tertangkap. Aku hanya menolongmu sekali lagi ini saja."

"Ah, aku, te, terima kasih.. Kurasa." Emily sedikit heran juga, baru kali ini Earth menawarkan bantuan tak terduga yang begitu sederhana sekaligus berbahaya bagi keselamatannya.

Dan sepanjang perjalanan mereka, kali ini menyusuri jalan tanah yang membelah perkebunan agar lebih cepat tiba, Emily keheranan. Mengapa para petugas jaga tak curiga atau bergegas menangkap Earth? Padahal beberapa kali mereka berpapasan.

Ia mulai menduga sesuatu. 'Jangan-jangan... mereka mengira Earth itu Ocean?' Karena selain pakaiannya yang tak sebagus milik Ocean (karena hanya memiliki pakaian bekas almarhum suami Lilian), penampilannya memang sangat mirip dengan Ocean.

"Kurasa kau tak perlu terlalu takut. Karena mereka mengiramu Ocean yang sedang menjagaku, walau bingung mengapa kita berdua ada di sini tengah malam begini," bisik Emily saat mereka sedang tak berpapasan lagi dengan siapa-siapa.

"Aku mirip dengan kakak sulung? Ha ha ha. Mungkin. Rambutku belum selesai dipangkas Lilian. Ia satu-satunya selain Emily yang baik denganku."

"Kuharap Lilian ada di puri dan juga baik-baik saja. Kasihan, ia tak lagi memiliki tempat tinggal."

"Aku akan menjaganya bila ia ketemu. Si Tua tak boleh menyakitinya lagi!" baru kali ini Earth memiliki rasa empati yang tebal terhadap manusia-manusia dunia atas.

Dalam hatinya, ia mulai merasa hangat. Kedekatannya dengan Emily membuat hatinya yang selama ini dingin mulai cair. Namun ia belum terlalu bisa mengendalikan diri. Dendam dan jejak 'kutukan' yang telanjur berakar kuat di dalam dirinya bisa meluap sewaktu-waktu.

Sementara itu, Ocean dan Sky masih berjalan terus menelusuri Lorong Bawah Tanah. Mereka memastikan tali pemandu terulur terus, memberikan mereka jejak untuk kembali.

Hingga mereka tiba-tiba kembali mendengar raungan, desahan, atau suara apapun itu.

"Ahhhhh.."

Semakin dekat, mendatangi mereka perlahan-lahan dengan langkah terseret-seret dalam air berlumpur.

"Itu dia suara si Makhluk Misterius!" sorak Sky antara senang dan juga terkejut.

"Ssstt... tenang!" peringat Ocean, "bila kita berisik, dia takkan berani keluar."

Mereka memandang ke depan, tak terlalu jauh, hanya beberapa meter saja.

Sudah terlambat!

Sesuatu sebesar dan setinggi manusia, namun sangat kotor dan bau serta berwarna kusam kehitaman, memunculkan diri di hadapan mereka.

Ia menatap tajam dua pemuda yang mengusiknya di tengah malam, dan dengan suara menggema-gema, dalam dan kering karena penderitaan, ia buka suara,

"Ocean dan Sky.."

Kedua pemuda itu berpandang-pandangan, ketakutan spontan melanda mereka.

"Aku telah menunggu kalian. Lamaaaa sekali...."

Suara lelaki tua yang seram, dengan timbre seperti makhluk-makhluk dunia lain dalam mimpi buruk.

"Darimana ia bisa tahu nama kita?" Sky masih mencoba menatap ke depan sambil mengacungkan senapan.

"Entahlah. Kok aku... Ayo kita pergi saja!" usul Ocean, ia merasa ragu bila harus menembak sosok makhluk hidup atau siapapun itu, dan memilih untuk undur diri saja.

Akhirnya mereka berbalik dan lari tunggang langgang tanpa sempat melihat jelas apalagi menembakkan senjata yang mereka bawa.

Tak lagi ingat atau melihat tali pemandu, mereka spontan menjauh dan malah jadi terpisah di perempatan lorong terdekat.

Makhluk itu tertinggal begitu saja, dan ia tak berniat mengejar.

"Tentu saja aku tahu nama kalian. Aku ayah kalian."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun