Sementara Ocean masih berkuda menuju ke mercusuar, Emily dan Sky yang masih menunggu dengan cemas di puri merasa perlu melakukan sesuatu.
Keduanya menunggu di lounge, Sky mondar-mandir gelisah, sementara sesekali terdengar gema raungan seseorang tak jelas namun cukup menakutkan. Beda dengan yang dahulu-dahulu. Ini seperti suara berat seorang pria tua atau kakek-kakek.
"Ahhh, Sky, aku tahu puri ini terjaga baik saat ini, tapi mengapa aku merasa, bila kita berada di sini saja tanpa berbuat apa-apa adalah sesuatu yang salah!" Emily berusaha keras menutup telinganya walau suara itu masih terus awet terngiang-ngiang dalam ingatan.
"Betul, apa sebaiknya aku turun sendiri ke Lorong Bawah Tanah dan membereskan makhluk apapun itu?" ucap Sky. "Sebenarnya di puri ini ada cukup persenjataan untuk berperang sekalipun. Senjata tajam maupun senjata api. Hanya saja kami merahasiakannya agar tak terjadi pertumpahan darah.."
"Aduh, jangan, Sky! Aku tak ingin kalian terluka apalagi bila sampai terbunuh!" Emily bergidik ngeri.
"Iya, tapi tetap saja aku harus membereskan sesuatu itu, tak bisa tidur rasanya bila ia terus meraung seperti serigala jadi-jadian dan apalagi bila ia sampai terlepas dan  berhasil menemukan jalan ke atas sini seperti monster-monster di film horor."
Sky mendekati salah satu sisi tembok di lounge yang dihiasi lukisan zaman dahulu, meraba salah satu sisi pigura, dan menggesernya dengan mudah. Di dalamnya ternyata ada beberapa pucuk senjata laras panjang.
"Senapan?" Emily bertambah takut.
"Ya, aku akan turun lagi sendiri ke bawah sana dengan senter dan tali penunjuk jalan juga masker dan senapan ini, agar aku bisa segera membunuh makhluk itu!"
'Aduh, bagaimana mungkin aku bisa mencegah Sky?' Emily merasa kelu, tak dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu Hannah dan Lilian masih bercakap-cakap di rumah mercusuar. Hannah berusaha untuk terlihat tenang dan menanggapi kebaikan Lilian. Namun sebenarnya ia menunggu saat-saat Lilian lengah.
"Duh, kemana anak itu pergi, lama sekali?" Lilian berdiri sejenak, berjalan ke pintu depan untuk melihat teras, barangkali ada tanda-tanda Earth akan pulang. Ia tak mau Earth terkejut dan marah saat melihat Hannah dilepaskan olehnya.
Namun ketika Lilian berbalik untuk duduk lagi di sisi Hannah, ia dikejutkan oleh sesuatu yang tak pernah ia duga!
"A...apaaa? Jangan, kumohon, jangan pernah lakukan hal itu!" Dengan ngeri Lilian menatap apa yang sedang dilakukan mantan sahabatnya itu.
'Tentu saja, api dibalas dengan api!" Di tangan tremor Hannah, lentera lilin Lilian yang masih menyala sedari dibawa ke atas tadi, tergantung dalam posisi hampir lepas dari ujung jarinya.
Di bawah kaki mereka, lantai rumah mercusuar yang hampir seluruhnya tertutup karpet tua seakan menunggu saat-saat terakhirnya.
"Jangan bakar diri kita berdua di sini, Hannah! Kita masih layak untuk berteman dan saling menyelamatkan satu sama lain! Lupakanlah masa lalu! Relakan kepergian Zeus dan jangan membenci anak-anaknya!" Lilian berusaha mendekat, namun Lilian malah tambah menggoyangkan lentera itu hingga api kecilnya bergerak liar seperti menari-nari tak sabaran untuk menjadi besar.
"Kau bilang jangan membenci? Kurasa itu tak mungkin! Karena cintaku telanjur berubah jadi benci yang berapi-api seperti ini!"
Detik-detik jatuhnya lentera itu ke atas karpet takkan pernah dilupakan Lilian untuk seumur hidupnya yang mungkin hanya tinggal beberapa saat lagi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H