Mohon tunggu...
Wiselovehope
Wiselovehope Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romansa Thriller Apocalypse Episode 93)

9 Mei 2023   10:56 Diperbarui: 9 Mei 2023   11:09 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orion dan Maharani tak memerlukan senter untuk melihat target-target dengan jelas. Perlahan mendekat dan bersembunyi di balik pepohonan dan sesemakan taman utama main mansion Brighton, keduanya menghitung. Ada sepuluh hingga dua belasan sosok di sekitar pintu utama. Jaraknya mungkin hanya beberapa belas meter, tak terlalu dekat namun juga tak jauh.

Langit tak lagi biru kehitaman, cahaya oranye lemah merekah semakin terang di ufuk Timur. Fajar yang sepi tak berangin itu sebentar lagi akan terkoyak oleh beberapa suara...

Orion tak ingin menunda lebih lama. Diarahkannya shotgun pada target dan membidik untuk mencontohkan.
"Aku pernah berangkat berburu hewan hutan. Anggap saja kita sedang begitu, Sayang! This is a hunting season. We're on a hunt." bisiknya seakan menghibur Rani sekaligus meningkatkan rasa percaya diri, "Ingat, kita bidik pada kepalanya, sasaran satu-satunya, headshot!"

Semua seperti adegan slow motion saja bagi Rani. Satu timah panas lurus meluncur. Nyaris tanpa suara karena senjata Orion telah dilengkapi peredam.


Satu zombie tersentak dan terkapar. Sisanya kebetulan sedang jauh, jadi mereka belum sadar jika 'rekannya' berkurang satu!

"Astaga, Orion. Kau juga berbakat jadi penembak jitu!" puji Rani takjub sekaligus merasa ngeri.

"Kebetulan saja. Sedikit tips, tutup sebelah mata saat membidik. Dan jangan menyanjungku, ini hanya hal wajar di daerah terpencil ini walaupun aku sudah beberapa tahun jadi anak kota!" Orion merendah, memberikan smize dengan mata sipitnya.

"Eh, yang satu itu tampaknya meraba-raba kaca jendela dan mendorong pintu!" Rani menunjuk.

"Bagaimana jika kali ini kau yang coba?"

"Uh, aku?" Rani ragu, "Pistolku ini kecil saja, apakah sebagus shotgun-mu?"

"Aku bukan seorang weapon expert, ahli senjata, namun kurasa senjatamu itu one of the best!"

"Are you sure?"

"Yes!"

Rani yang belum begitu percaya diri itu berusaha keras mengarahkan senjata kecilnya. Genggamannya masih bergetar. Orion tahu, Rani memang tadi berhasil 'membersihkan' satu, namun senjata api ini masih sangat baru baginya. Didekapnya dan ditatapnya mata Rani.

"Look into my eyes. No need to worry, you can do it!"

Rani seakan mendapatkan suntikan rasa percaya diri ekstra. Tatapan Orion yang selalu penuh cinta itu bagaikan booster yang menambah keyakinan. Dan satu peluru segera meluncur mulus...

Sementara dari dalam lobi, Lady Magdalene menyaksikan semua pengepungnya dengan tegang. Ia tadi tak yakin bisa bertahan, namun satu zombie yang jatuh menyadarkannya bahwa pertolongan, entah dari pihak mana, telah datang.

"Aku juga bisa menembak dan ikut serta beberapa event perburuan, tetapi itu sudah lama sekali. Senjata milik almarhum suamiku, ayah Orion..." ia teringat jika masih ada peninggalan senjata di ruang koleksi, "Apakah masih berfungsi? Kurasa sudah saatnya mencoba lagi!"

Belum sempat ia beranjak, satu lagi zombie jatuh tak jauh dari depan pintu utama.


Namun kali ini tak seperti tadi. Jatuhnya 'rekan' kedua dari antara mereka sepertinya sudah disadari oleh yang lain. Kali ini gerombolan mereka mulai restless alias gelisah. Mungkin masih ada naluri terpendam, jika bukan satu-dua panca indra yang masih berfungsi. Beberapa coba-coba mengetuk jendela, bahkan mendorong-dorong pintu ganda. satu-dua yang mencoba, lama kelamaan hampir semua zombie ikut melakukannya!

Di kejauhan, Orion dan Rani semula ingin bersorak, tetapi sadar jika ini masih far from over!

"Tembakanmu jitu, Sayang. Namun sepertinya kali ini kita tak seberuntung yang pertama! Rekan-rekan mereka seperti 'menyadari' ada yang tak beres!"

Orion berdiri, diikuti Rani. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Sebentar lagi kita harus maju dan menembak dari jarak dekat. Ibuku dalam bahaya besar, dan aku takkan membiarkan nyawanya terancam!" geram Orion, "Rani, kau masih punya amunisi? Sediakan, jadi begitu habis bisa segera mengisi ulang.

Shotgun-ku masih berisi cukup peluru untuk beberapa makhluk itu! Kau cukup mem-backup saja seandainya ada tembakanku yang kurang tepat!"

"Baiklah, headshot?"

"Ya!"

Lady Magdalene juga bergerak cepat, ia berlari ke ruang koleksi dan meraih sepucuk hunting rifle dari lemari suaminya. Memang senjata itu sangat baik walau sedikit terlalu panjang untuk ukuran tangan wanita. Pada awalnya sedikit kesulitan, Mag berhasil juga membawanya ke lobi.

Ia bisa mendengar beberapa tembakan di luar. Tampaknya tim penyelamatnya sudah duluan melakukan pembersihan!

Orion dan Rani sudah semakin dekat. Rencana mereka pada awalnya berjalan lancar. Satu persatu zombie yang menghalangi bertumbangan. Kedua pasangan itu tak sadar jika...

"Watch out, Son!" Lady Mag tetiba membuka lebar-lebar pintu main mansion dan mengarahkan rifle-nya ke kejauhan.

Rani sejenak mengira ibu mertuanya hendak menembak mereka, namun begitu ia berpaling, ternyata beliau menyasar satu zombie yang muncul di belakang Orion dan dirinya!

Suara rifle tak berperedam itu mengoyak kesunyian. Ternyata tembakan Lady Mag tak terlalu jitu! Hanya mengenai dada si zombie, lalu beberapa lagi yang ia susulkan mengenai kaki dan tangan.

Zombie itu tersungkur, namun tangannya masih menggapai-gapai, sangat dekat dengan kaki Orion!

"Well, Mama, thanks, I'll take the finishing part!" Orion tak ingin menghamburkan pelurunya. Diraihnya bet kasti Leon dari ransel dan dilakukannya hal yang sama dengan yang Rani lakukan di toko tadi.

Rani dan Mag menatap ngeri, namun bersyukur. Beberapa belas zombie akhirnya terbebas dari penderitaan mereka.

Orion terburu-buru menutup pintu gerbang ganda, sementara Rani dan Mag berpelukan lega. "Astaga, kalian berdua tak apa-apa? Thank God! Leon dan Grace pergi begitu saja tadi, aku lengah!" lapor Lady Mag kepada putra dan menantunya dengan napas terengah-engah.

"Kami tak menyalahkanmu, Ma! Sekarang kita bertiga ke kompleks Delucas saja! Aku yakin Mama takkan ditolak oleh Lady Rosemary! Semoga kita bisa menyusul anak-anaknya, atau mungkin juga mereka sudah kembali duluan dengan selamat. Jangan terlalu cemas, oke?" Orion berusaha membesarkan hati ibunya, meski dalam hati ia tak terlalu yakin jika Leon dan Grace baik-baik saja!

***

Sementara itu Leon dan Grace tampaknya belum tiba di kompleks Delucas. Hari sudah pagi, suasana perbukitan sangat sepi, sementara tak ada tanda-tanda kehidupan baik dari alam maupun tanda-tanda kemunculan korban reanimasi.

"Si-a-laaan! Mengapa sepeda motorku rusak saat seperti ini? Bensinnya habis atau bagaimana 'sih?" Leon terpaksa berhenti memarkirkan kuda besinya di pinggir jalan.

"Sudahlah, pintu rahasia tak jauh lagi, paling-paling tiga puluh menit saja berjalan kaki! Tinggalkan saja sepeda motor sport butut ini di sini dan kita pulang, Kak!" kesal Grace.

"Tidak, enak saja! Aku yakin kita akan baik-baik saja, aku akan coba panaskan mesinnya lagi!"

"Baiklah, tapi..."

Ternyata suara motor Leon yang cukup keras memancing seseorang, atau sesuatu, mendekat... Dari ujung jalan setapak yang sepi, sosok seperti yang mereka temui dini hari tadi menampakkan diri. Seorang pria lansia. Kelihatannya masih sehat, namun sangat pucat...

"Astaga, Leon!" Grace menepuk bahu kakaknya yang masih sibuk sendiri, "Kita kedatangan seseorang..."

Leon menengadah. Ia sadar, sosok itu tak lagi hidup... "Ambil bet kastiku, di ransel, Grace. Cepat!" bisik sang kakak.

Grace segera menarik turun risleting ransel Leon. Panik meraba-raba, ia tak berhasil menemukan senjata tangan itu! "Tak ada, Kak! Kelihatannya semalam dipinjam Papa Orion!"

Sementara kakek-kakek zombie itu semakin dekat dan dekat. Langkahnya pelan dan agak pincang, namun tak berhenti sedikitpun. Leon bersiaga, merasa putus asa karena tak bersenjata, sementara Grace menarik lengan kakaknya itu dan berbisik, "Aku punya pisau lipat dalam saku jaketku, tetapi sebaiknya kita lari saja, Kak, tinggalkan sepeda motormu sekarang juga!"

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun