Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romance Thriller Apocalypse Episode 69)

10 Maret 2023   14:28 Diperbarui: 10 Maret 2023   14:51 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya aku tak terlalu gembira diutus sendirian ke Lab Barn semudah ini, 'begitu saja' tanpa kesulitan. Kurasa ada yang diam-diam Lady Rosemary inginkan dengan apa yang ia titahkan. Oh ya, ruangan di mana Orion berada pasti telah diawasi CCTV 24 jam. Semua perkataan dan perbuatan akan terekam! Jadi... Rani menarik kesimpulan sendiri saat berjalan menuju ke Lab Barn, aku tak boleh terlalu kelihatan mesra atau berbuat macam-macam di sana!

Suasana pagi hari itu sepi sekali. Nyaris tak ada kegiatan di kompleks Delucas yang masih tetap permai bagaikan di resor-resor liburan dataran tinggi Evernesia. Jalan-jalan setapak dan pelataran main mansion yang luas tampak lengang. Rani mempercepat langkah menuju lumbung terbesar yang letaknya agak terpisah dari lumbung-lumbung lainnya di area perkebunan-peternakan. Beberapa petugas dengan masker medis dan face shield berjaga di pintu gerbang ganda. Mereka sudah diberitahu akan kedatangan Maharani, jadi tanpa bicara mereka mengangguk hormat lalu membukakan pintu. Seorang petugas mengantarkan Rani, dengan isyarat tangan mempersilakannya duluan.

Lab Barn lebih mirip sebuah laboratorium rahasia dadakan daripada lumbung pangan biasa. Rani heran, tempat itu bisa disulap sedemikian cepatnya dari sebuah lumbung kosong menjadi ruangan-ruangan putih kecil-kecil berpintu terkunci bagaikan di sebuah rumah sakit. Memang tak menggunakan kaca-kaca atau perangkat kunci bersandi, namun masih sangat terasa aroma rumah sakitnya. Terkesan 'steril' luar dalam dengan wangi karbol pinus dan obat-obatan.

Astaga, tempat ini dipenuhi CCTV. Kelihatannya memang Lady Rose membangun tempat ini dengan modal besar sekali! Wanita itu sanggup melakukan semua yang ia inginkan!

Rani diantarkan menuju satu dari beberapa ruangan kecil di koridor sempit. Tak ada privasi. Pada setiap pintu tersedia jendela kecil untuk melihat kegiatan di dalam.

Sementara di dalam salah satu ruangan itu, Orion sudah terjaga dan sedang berusaha menikmati sarapan sehat yang sudah diantarkan beberapa saat lalu. Pemuda itu sudah merasa jauh lebih baik. Ia hanya heran pada sunyinya suasana di luar dan di sebelah ruangan. Tak terdengar lagi raungan atau keluh kesah Russell setelah kemarin terjadi kehebohan yang membuatnya nyaris tak bisa memejamkan mata. Ia perlu membayangkan dibuai Rani dahulu baru bisa sedikit beristirahat.

"Silakan masuk!" Pintu tiba-tiba terbuka.

"Selamat pa... oh!" Orion mengangkat wajah dan nyaris terpekik gembira saat melihat siapa yang datang. Walau tamunya mengenakan baju hazmat, ia tak butuh waktu lama untuk mengenali sosok mungil itu.

"Permisi Tuan Orion, pintu kamar tidak dikunci, beberapa menit lagi saya datang menjemput Anda, Nona Maharani Cempaka." Petugas pengantar mohon diri, keluar dan menutup pintu.

"Orion..." mata Maharani berkaca-kaca saat bertatapan, "Anda baik-baik saja? Saya disuruh mengantarkan charger ponsel ini kepada Anda oleh istri Anda."

Orion sedikit heran dengan keformalan sikap Rani, namun segera mengerti. Ia mengangguk senang namun tak mendekat.

"Baik, terima kasih banyak! Saya memang sangat membutuhkan benda ini." Ia mengambilnya dari Rani dan segera mengisi daya ponselnya yang masih mati.

Mereka seperti sudah tahu semua tanpa perlu berkata-kata lagi. Keduanya sudah cukup lega bisa bertemu muka walau tak bisa berbuat apa-apa di tempat itu.

Tetiba lampu putih utama pada langit-langit ruangan berkedip-kedip dan padam! Masih ada cahaya kecil dari lampu darurat yang langsung menyala sehingga ruangan tak gelap total.

"Oh, sialan benar! Ada apa dengan suplai listrik di sini? Sudah lama sekali. Mungkin bertahun-tahun tak pernah mati lampu!" Petugas di depan ruangan bergegas pergi untuk mengecek apa yang terjadi di luar sana.

Rani dan Orion bersama-sama melihat ke spot langit-langit di mana ada kamera kecil bulat CCTV terpasang, kelihatannya benda itu juga tidak berfungsi.

"Rani, aku tak bisa berbuat apa-apa dulu, namun terima kasih! Aku baik-baik saja." sulit bagi Orion untuk tak datang lebih dekat dan memeluk Rani.

Begitu pula Rani. Ia makin merasa kegerahan dalam pakaian pelindungnya, tapi sangat lega karena Orion baik-baik saja.

"Rani, semalam ada apa? Kedengarannya ada beberapa peristiwa penting yang terjadi!" Orion mendekat, ia tak berani menyentuh atau memeluk Rani, hanya berusaha agar suaranya tetap pelan. Suara yang selalu Rani rindukan, "Aku cemas sekali, kukira ada penyerbuan atau semacamnya!"

"Aku kurang tahu, tetapi akan ada orang-orang baru yang datang ke sini. Aku tak mengerti, namun Rose terlihat sangat gundah!"

"Juga orang di sebelah. Rani, can you give me a favor? Bisakah kau keluar sebentar ke depan kamar sebelah dan menjenguk dari jendela kaca di pintunya? Itu pasien bernama Russell. Orang yang diserang dua zombie di luar pagar kita dua hari silam."

Rani terkesiap, permintaan Orion itu sedikit menakutkannya, namun tak kuasa ia tolak. Akhirnya ia berkata pelan, "Sejujurnya aku agak takut, tetapi baiklah, akan kulakukan! Tunggu di sini!"

Orion mengangguk. "Tak apa-apa, ruangan itu terkunci. Ayo, sebelum petugas datang dan lampu kembali menyala!"

Rani berjingkat-jingkat keluar, melihat ke kanan-kiri untuk memastikan koridor itu sepi.

Didekatinya pintu ruangan yang ada di sebelah dengan jantung berdebar-debar. Ada siapa di sana? Tak ada suara.

Suasana di dalam remang-remang dengan pendar lemah lampu darurat. Di atas ranjang, sesosok tubuh tinggi tergeletak tak bergerak, terselubung kain putih panjang dari kepala hingga kaki. "Apa dia sudah tiada? Kelihatannya begitu!" Rani merinding.

Tetiba kain putih itu seperti bergeser, bergerak-gerak perlahan-lahan sekali. Seolah-olah sosok di dalamnya terjaga mencoba menjatuhkan kain penutup tubuh. Rani ternganga, mencoba untuk tidak berteriak.

Astaga... apakah Russell terbangun? Apalah keberadaanku sudah ketahuan olehnya?

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun