Tak ada seorangpun menjadi saksi kecuali Lady Magdalene Brighton. Ibunda Orion merasa aura putra tunggalnya jauh berbeda pada pernikahan kali ini dibanding saat sang putra terpaksa menikah dengan sahabatnya sendiri sebagai pelunas utang. Beberapa hari ini batinnya sebagai ibu tersiksa dengan rasa bersalah tak berkesudahan. Jika bisa, ingin ditariknya persetujuan dan restunya, serta membatalkan pernikahan Orion. Mag ingin juga berjanji jika utang itu perlahan akan diselesaikan meskipun akan memakan waktu lama. Sayangnya, semua terlanjur terjadi. Dan ternyata pernikahan itu bukan yang resmi, melainkan...
"Mama, are you okay?" Orion membuyarkan lamunan Mag, "Kami siap untuk melakukan upacara ini."
"Oh, yes, My Son! I'm ready too!"
"Kami telah siap mengadakan pemberkatan singkat ini. Karena ini keadaan darurat dan mendesak, kita hanya bisa melakukan ritual utamanya saja." Rev. James yang telah membawa beberapa perlengkapan ibadat selesai mempersiapkan semuanya.
"Terima kasih banyak. Aku siap, begitu pula calon pengantinku. Tetapi maaf, kami belum sempat mempersiapkan cincin-cincin dan semua dokumen yang dibutuhkan, is that okay?"
"Don't worry, Tuan Muda Brighton! Semua keresmian itu bisa menyusul nanti. Gereja Chestertown akan mengurus semuanya hanya untuk kalian. Tunggu saja. Semua akan kami kerjakan secara rahasia, as your wish, very confidential." Rev. James meyakinkan Orion.
"Baiklah, terima kasih. Kami siap! Sebentar, Rev. James, satu hal lagi." Orion berpaling, bertanya sekali lagi kepada gadis di hadapannya, "Milady Rani, kita tak sempat bertunangan atau bahkan berkencan sebelumnya. Kita baru saling mengenal dalam hitungan hari saja. Untuk terakhir kali, izinkan aku bertanya. Apa kau yakin dan siap menjadi pasangan hidup sejatiku?"
Tenggorokan Rani tercekat. Orion memang sempat dan masih menjadi suami seseorang di luar sana. Namun itu sama sekali tak mengurangi rasa cinta Rani kepada pemuda yang baik ini. "Ya, Orion. Aku yakin. Aku siap."
Rev. James memandu dari pembukaan berupa pembacaan beberapa ayat kitab suci hingga tiba saatnya pertanyaan-pertanyaan yang sudah sering digaungkan di sepanjang sejarah. Semua berjalan begitu cepat sekaligus terasa lambat, seperti di dalam mimpi saja. Tangan Orion dan Rani saling menggenggam. Keduanya saling memandang; mata hitam besar Rani dari balik cadar putihnya, mata cokelat sipit Orion di bawah alis tebal panjangnya.
"Apakah Anda, Orion Brighton, bersedia menerima Maharani Cempaka sebagai istri Anda hingga maut memisahkan?"
"Aku bersedia."