Semakin hari Barista Rey semakin akrab saja denganku. Kami bertukar nomor ponsel dan sering chat di sela-sela kuliahku dan waktunya bertugas. Kurasa kami seperti sedang pedekate, aku gak mau gede rasa. Tetapi berada bersamanya memang nyaman. Ia sama sekali tak menunjukkan gelagat genit atau mata keranjang, karena itulah aku suka. Mungkin malah lebih dari sekadar suka. Jika senggang, kami jalan-jalan sejenak di mini market tempat pertama kami berjumpa atau di pertokoan sekitar Coupee. Pandang iri orang-orang tak kuhiraukan. Mungkin mereka rasa kami gak selevel. Ah, masa bodo. Rasa bangga berjalan di sisi cowok setampan Rey membuat hidungku serasa hampir terbang. Entahlah bagaimana perasaannya terhadapku, gak ingin tahu, nanti kecewa! Dianggap teman udah senang.
"Aku sering jalan-jalan denganmu, nanti ada yang cemburu, lagi!"
Rey tergelak. "Siapa? Aku single kok. Jadi gakkan ada yang berhak cemburu."
"Betulan?" aku melirik dengan penuh kecurigaan.
"Iya. Di kota ini, Joy saja teman baruku. Belum banyak yang kukenal."
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H