"Dan Rey juga panggil aku Joy saja."
"Okay, it's a deal!"
Sayangnya aku tak bisa berlama-lama nongkie di kafe Coupee karena sudah hampir jam kuliah. Beberapa tamu juga sudah datang dan duduk di dekatku, sehingga tak ada lagi momen berdua saja dengan Rey. Sedikit lega, sedikit kesal, keluarlah aku dari kafe itu tanpa berpamitan lagi dengan si barista.
Saat kuliah desainku hingga selesai dan sore tiba menjelang malam, aku masih belum konsen gara-gara penawaran istimewa Rey untuk ngopi gratis lagi di Coupee. Antara ingin tapi gengsi, mengingat aku belum menyerah melawan teori kopinya! Kubuka saja situs resmi Coupee dot com di ponsel untuk sekadar melihat-lihat. Kafe itu belum sepopuler Sunbucks tapi sudah memiliki beberapa cabang. Saat melihat laman pendirinya berikut biodata mereka, aku tertegun. Kok, tampang bos besarnya sepertinya pernah kulihat entah di mana. Walaupun sudah berumur, tetap gagah perkasa, pasti cakep waktu masih muda. Eh, kok jadi kepincut om-om. Seleraku bukan cowok yang lebih tua.
Segera kulupakan kejadian kecil itu. Sorenya karena penasaran aku mampir lagi di Coupee. Barista Rey tentu saja masih setia bertugas di sana. Ia menyambutku dengan secangkir kopi hangat. Kali ini gak pake susu atau topping apa-apa, aku hanya request sedikit gula agar rasanya gak  pahit-pahit amat. Dan nyatalah jika memang kopi itu beda benar dengan kopi hitam yang biasa kuminum, baik aroma maupun rasanya. Kesal sebal sempat merajaiku, akan tetapi aku merasa gak berdaya.
"Bagaimana? Kopi anget juga enak, bukan? Gak kuseduhkan banyak-banyak, nanti kamu gak bisa tidur! Kafein kopi murni itu tinggi. Di atas 10 gram per sajian saja sebenarnya udah ketinggian bagi pemula, lho."
"Uh, aku gak peka-peka amat dengan kadar kafein, kok! Sedikit atau banyak, tetap malam bakalan ngantuk juga!"
Memang benar kata Rey. Malam itu aku agak susah tidur, jangan-jangan insomnia. Membaca beberapa buku kesukaan, lama baru bisa ngantuk dan terlelap. Esoknya aku iseng-iseng mampir lagi di Coupee. Rey menyambut hangat. Kopi sajiannya gak pernah mengecewakan, apalagi ia selalu menggratiskanku. Rasanya aku mulai kecanduan. Entah pada kopi racikan Rey atau senyum Sang Barista yang menyebalkan. Ada misteri besar pada dirinya yang membuatku mulai tertarik. Tidak, gak seperti dugaan ala novel, bukan jatuh cinta! Aku gak segitu mudahnya naksir cowok, kok. Setidaknya agar gak kecewa-kecewa amat kelak. Beberapa pedekateku saat sekolah dari SD-SMA berujung kegagalan, jadi ya sudahlah, masalah jodoh aku pasrah.Hingga saat ini temanku memang kebanyakan pria-pria seumuran, tapi malangnya, gak satu pun berlanjut jadi cinta!
"Siapa 'sih sebenarnya dirimu, Rey? Rasanya aku pernah melihatmu entah di mana!" selidikku bak detektif wanita.
"Uh, siapa ya? Mata sipit pasaran begini. Mungkin mirip seseorang di masa lalumu, jangan bilang mirip artis Korea yang digilai cewek-cewek itu, ya!"
"Huh, kegeeran, kurasa tidak! Wajahmu mirip seorang pengusaha sukses yang sering kulihat di berita atau tivi!" langsung saja kutembak dia, ingin tahu reaksinya.