Rasa fanatisme yang muncul akibat penggembosan isu sektarian inilah yang menyulut emosi masing-masing penganut mazhab baik itu dari golongan Sunni maupun Syi’ah untuk memberikan dukungan. Jadi sekali lagi ketegangan antara Saudi Vs Iran yang merupakan aktor utama terjadinya proxy war yang akhirnya menyebabkan konflik di Timur Tengah lebih dilatarbelakangi oleh perebutan pengaruh politik semata, dan agama hanyalah isu kesekian yang kemudian di bungkus menjadi kemasan yang apik untuk  memperoleh dukungan dari Masyarakat dunia Islam diluar.Â
Anehnya, Dunia Islam non-Arab mulai dilibatkan dalam konflik tersebut termasuk Indonesia, tentunya dengan cara-cara ‘menjual’ isu sentimen sektarianisme agama tadi. Parahnya, para kelompok pendakwah fundamentalis Islam yang berada di akar rumput malah membawa masalah konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya baru-baru ini terjadi di kota Aleppo ditarik ke Indonesia dengan sentimen sektarianisme agama tadi secara tidak cerdas, yaitu dengan melakukan berbagai macam kegiatan takfiri, yaitu saling mengkafirkan sehingga malah membawa Indonesia untuk ikut terlibat kedalam pusaran konflik dari nafsu politik tersebut.
Meskipun sebenarnya pada tataran pemerintah Indonesia memang tidak terlibat dan Alhamdulillah masih bisa menjaga netralitasnya (dengan kata lain apatis), namun patut disyukuri bahwa sampai hari ini pemerintah belum ikut-ikutan terlibat kedalam pusaran konflik hegemoni tersebut, tidak seperti negara tetangga Malaysia yang sudah mendeklarasikan bergabung dengan Aliansi koalisi Arab meskipun sangat banyak rakyat Malaysia yang menyayangkan sikap pemimpin negara mereka. Namun sepertinya Saudi dan Iran juga sudah mulai melirik Indonesia untuk diajak bergabung kepada salah satu poros. Hal tersebut terlihat melalui penguatan hubungan bilateral ynag dilakukan oleh kedua negara masing-masing terhadap Indonesia. Arab saudi lebih memilih untuk melakukan rayuan melalui kerjasama di bidang pendidikan, seperti beberapa waktu lalu ketika Presiden Jokowi melakukan lawatan ke Arab Saudi, pihak Saudi berencana untuk membangun dan menambah pendirian LIPIA di beberapa wilayah di Indonesia dan telah mendapatkan izin dari jokowi.Â
Tak mau kalah dari Saudi, Iran juga melakukan manuver rayuan, bedanya Iran melakukan pendekatan di bidang Energi, yaitu pengiriman sejumlah cadangan Migas ke Indonesia. Dari sini tampak jelas bahwa kedua negara tersebut memang sangat ambisius berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, bahkan melintasi luar kawasan. Memang Indonesia adalah termasuk negara yang bisa dikatakan cukup potensial untuk dijadikan sahabat seperjuangan, bahkan Barat sekalipun tertarik dengan Indonesia, sehingga wajar jika Saudi dan Iran pun ingin menanamkan pengaruhnya disini. Yah kita lihat sajalah semoga kedepan Indonesia bisa tetap menjaga jarak dan netralitasnya serta mengaktualisasikan politik luar negerinya yang bebas aktif guna menangani konflik yang sudah demikian parah melanda Timur Tengah.
Namun netralitas itu hanya pada tataran pemerintah, sedangkan pada tataran masyarakat khusunya di akar rumput yang lebih banyak terpengaruh oleh isu-isu yang ‘dikampanyekan’ oleh sebagian besar pendakwah fundamentalis (yang secara kuantitatif menguasai diakar rumput) yang kurang memahami geopolitik. Bahkan Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA mengatakan dalam sebuah pengajian bahwa banyak Muballigh/pendakwah/Murabbi hari ini yang tidak mengerti geopolitik sama sekali dan cenderung apatis terhadap politik.Â
Bahkan penulis juga mengamati para Muballigh hari ini bukan hanya tidak mengerti politik tetapi juga malah diperalat jadi budak politik oleh elit politik yang berkepentingan dibalik nama dakwah. Lebih lanjut pak Din menambahkan bahwa ketika konflik Timur Tengah terjadi dan permasalahan mau dibawa kemari sementara pemahaman geopolitik lemah untuk ikut campur, akibatnya yang terjadi adalah miss communication sehingga tereduksi menjadi persoalan teologis (isu agama). Sementara peran dan nasihat ulama seolah diabaikan oleh mereka sehingga terkesan seakan-akan pendakwah lebih paham dan mandiri sehingga tidak butuh peran ulama. Memang begitulah karakter kelompok fundamentalis, mereka hanya membawa segala permasalahan kedalam sentimen agama.
Maka dari itu peran para ulama sangat penting dalam mengarahkan masyarakat dan membimbing pendakwah tentang pemahaman dan akar permasalahan konflik Timur Tengah dengan ideologi Syi’ah yang memang terpisah pembahasannya. Kita sebagai umat Islam secara teologi tentu meyakini mana akidah akidah yang lurus dan mana yang bengkok. Secara akidah Syi’ah memang termasuk golongan yang sudah melenceng, akan tetapi tidak semua permasalahan yang terjadi di dalam dunia Islam harus dibaca hanya dengan kaca mata Teologis. Harus ada pembacaan yang lebih luas yaitu dari segi pemahaman geopolitik, histori peradaban dan situasi global masa modern.Â
Apalagi dengan melihat peristiwa yang terjadi dalam berbagai sudut pandang dan aktor yang ada dibaliknya, jelas ini bukanlah perang agama apalagi sektarian, tapi ini merupakan perang dingin (proxy war) yang Saudi dan Iran berlindung dibaliknya untuk menanamkan hegemoni kekuasaan dan pengaruh politik yang didasarkan kepada ‘keangkuhan’ terhadap peradaban sejarahnya masing-masing. Lantas apakah kita sebagai Umat Islam masih bersikukuh melihat konflik ini sebagai isu Sektarianisme agama (Sunni-Syi’ah) dan rela mengacaukan stabilitas dalam negeri hanya karena mereduksi informasi yang sebenarnya terjadi?
Harapan kita semua tentu saja berdoa dan berusaha semampu kita semoga konflik yang bergejolak di Timur Tengah selama 5 tahun agar bisa segera selesai. Tentunya semua ini hanya bisa selesai jika Arab Saudi dan Iran bisa saling menahan ke egoisan diri dari nafsu kekuasaan yang selama ini di impikan dan melihat lebih dalam akan dampak yang telah mereka perbuat akibat proxy war yang telah mereka ciptakan di kawasan. Jutaan penduduk sipil yang tidak tahu menahu menjadi korban, ribuan nyawa manusia melayang, sementara yang masih bertahan hidup ditengah puing-puing dan kesedihan yang mendalam.
 Tentulah akan lebih baik jika kekuatan energi dan pengaruh yang dimiliki oleh Saudi maupun Iran digunakan untuk menciptakan kekuatan ekonomi dan  militer dikawasan Timur Tengah untuk kepentingan pembebasan Masjidil Aqsa dan Palestina dari pengaruh eksistensi negara Yahudi. dan itu hanya bisa dilakukan oleh kekuatan yang didalam diri mereka sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak luar (Barat). Karena Meskipun Saudi dan Iran adalah aktor dibalik konflik Proxy war yang terjadi di Timur Tengah, namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa campur tangan Barat (Amerika dan Rusia)  turut ikut serta atas konflik yang terjadi demi kepentingan mereka sendiri. Karena ketegangan Saudi dan Iran tidak akan mungkin bisa diredam jika Barat masih turut ikut campur ‘menggembosi’ terhadap urusan politik dan kepentingan kedua negara tersebut.
Terakhir harapan kita kepada pemerintah Indonesia agar memainkan peran lebih untuk mengatasi konflik politik yang berkepanjangan tersebut, tentu dengan tetap menjaga netralitas yang ada. Tentu netralitas yang dimaksud bukanlah sekedar netral yang apatis melainkan netral yang bebas aktif sesuai dengan sikap politik luar negeri kita agar segera kembali diaktualisasikan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu turut serta dalam menjaga perdamaian dunia................Amiin yaa Rabbal 'alamiin