Mohon tunggu...
Randi MU
Randi MU Mohon Tunggu... -

hanya ingin menyelesaikan misi hidup dimuka bumi ini, tak peduli apakah benar atau salah dimata manusia, karena hanya Allah yang berhak menilai

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tragedi 'Kemanusiaan' di Timur Tengah: Konflik Sektarian atau Politik?

30 Desember 2016   09:14 Diperbarui: 20 Desember 2017   18:59 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita mengenai Konflik Suriah kembali menghangat usai serangan yang dilancarkan oleh pemerintah Rezim Suriah Bashar al-Assad ke kota Aleppo beberapa waktu lalu. Dunia pun kembali berempati dan bereaksi, khusunya dunia Islam termasuk Indonesia dengan melakukan berbagai aksi kemanusiaan seperti menggalang dana bantuan, demonstrasi menuntut gencatan senjata bahkan hingga pada tingkat yang paling ekstrem yaitu dengan pergi langsung ke lokasi konflik untuk bergabung dengan para milisi pemberontak yang disana. Semua itu berlandaskan pada satu nafas niat dan tujuan, yaitu sebagai bentuk solidaritas sesama saudara seiman dan atas nama kemanusiaan. Perang saudara yang telah berlangsung elama lebih dari 4 tahun ini memang telah menimbulkan banyak kehancuran dan luka yang mendalam.

Lebih dari 500 ribu nyawa telah melayang mulai dari anak-anak, wanita bahkan lanjut usia, sementara 11 juta warga suriah harus rela meninggalkan harta dan tempat tinggalnya untuk mengungsi ke berbagai negara. Dunia pun ikut mengutuk atas pembantaian yang dilakukan oleh rezim yang begitu kejam bahkan di luar nalar manusia. Sementara pimpinan dunia (PBB) hanya diam dan membisu melihat tragedi kemanusia yang sedang berlangsung hingga sekarang di Suriah seolah-olah tidak tahu apa yang sedang terjadi atau hanya menganggap seolah-olah perang itu hal yang biasa terjadi. Suriah sebagai negara tua dengan penuh sejarah peradaban yang mengagumkan dan bahkan kota Aleppo yang sempat menjadi pusat pasar perdagangan dunia itupun kini telah berubah hancur lebur dan mencekam bak kota hantu yang menyeramkan.

Melacak akar masalah peperangan di Suriah memang begitu ruwet, karena sesungguhnya konflik timur tengah tidak hanya terjadi di negara tua ini saja. Timur tengah sepertinya memang selalu menjadi pusat perhatian dunia di abad 21 ini. Bukan hanya sekedar dikarenakan konflik yang melanda negara-negara Arab saja, namun juga selain karena Timur Tengah merupakan pusat energi dunia karena memiliki kandungan cadangan minyak yang melimpah, juga dianggap sebagai pusat jantung Islam bagi umat Islam.

Sejarah orang-orang Arab memang selalu dipenuhi dengan peristiwa peperangan dari masa ke masa. Philip K. Hitti seorang Professor sastra semit dari Universitas Prince-ton menyebut peristiwa peperangan di negara-negara Arab dengan istilah ayyam al-‘Arab (keseharian orang-orang Arab). Istilah yang penulis anggap ‘dramatis’ itu memang didasarkan pada sebuah fakta bahwa konflik dan peperangan sepertinya memang sudah menjadi sebuah kultur yang mendarah daging bagi bangsa-bangsa Arab.

Seorang dosen dari UIN Sumatera Utara Fakultas Dakwah dan Komunikasi yaitu Winda Kustiawan, MA dalam salah satu ceramahnya yang penulis ikuti juga mengatakan hal yang demikian, bahwa kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam memang sering terlibat konflik dan peperangan antar suku, bisanya disebabkan karena sengketa tanah, ternak ataupun sumber mata air. Namun pasca datangnya ajaran Islam yang dibawakan oleh nabi Muhammad SAW ternyata juga tak membuat tradisi peperangan hilang sepenuhnya dari masyarakat Arab. Bahkan sejarah peradaban Islam sekalipun yang dibangun mulai dari menumpahkan darah juga banyak tercatat dibuku-buku sejarah. 

Sebutlah salah satu contoh ketika dinasti Khilafah Abbasiyah merebut kekuasaan wilayah dari dinasti Khilafah Umayyah, seluruh keluarga kesultanan Bani Umayyah dibantai hingga tak bersisa, kecuali Abdul Rahman al-Dakhil yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbasiyah dan melarikan diri ke Andalusia (Spanyol) dan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II disana.

Sejarah ini membuktikan bahwa tradisi Peperangan sebenarnya memang sudah menjadi sebuah tradisi yang mendarah daging didalam genetik Masyarakat Arab. Di abad modern seperti sekarang ini, tradisi itu kembali kambuh pasca terjadinya perang dunia I dan II. Sejak runtuhnya Kekhalifahan Utsmani di Turki, Inggris memberikan sepotong tanah jajahannya yaitu Palestina kepada Israel yang kemudian menjadi sebuah negara Israel Raya. Berdirinya eksistensi negara Yahudi itu ditengah-tengah jantung Negara-negara Islam telah mengkambuhkan kembali konflik negara-negara Arab dan berbagai kepentingan yang ada dibaliknya. Iran VS Arab Saudi!!Ya, kedua negara terbesar di Timur Tengah yang menganut dua Mazhab yang berbeda ini menjadi aktor utama dalam pertarungan politik dan pengaruh (hegemoni) kekuasan atas Timur Tengah. 

Bukan tanpa sebab, pasalnya sebelum terjadinya Revolusi Iran pada tahun 1979 hubungan negara kerajaan Ibn Saud dengan Dinasti Pahlavi (nama Kerajaan Iran sebelum Revolusi) bisa dibilang cukup akur dan berada dibawah kendali Barat, bahkan Iran sempat mengakui Kedaulatan Israel atas Amerika. Hingga akhirnya pada tahun 1979 terjadi peristiwa Revolusi yang dipimpin oleh seorang tokoh yang dijuluki sebagai Imam Besar Revolusi Ayatollah Rahullah Khameini berhasil menumbangkan Rezim dinasti Pahlevi yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Reza Shah Pavlavi yang sekaligus menandai berakhirnya kerajaan Iran.

Setelah Dinasti Pahlavi tumbang, para tokoh Revolusi kemudian memproklamirkan sebuah Negara Republik Islam Iran dan berbalik arah melawan Barat dengan bersekutu dengan Komunis Uni Soviet. Dari sinilah kemudian awal sejarah konflik perebutan pengaruh kekuasaan itu dimulai. Gesekan dendam dan keangkuhan peradaban sejarah pun kembali dihangatkan dan dimunculkan kepermukaan, setidaknya ada tiga negara yang telah menorehkan pretasi peradaban besar dan ingin kembali menorehkan impian tersebut, yaitu Arab Saudi dengan kerajaan Ibn al-Saud di Nejd, Iran dengan Kerajaan Persia Agung, dan Turki dengan Khilafah Utsmaniyah. 

Akan tetapi Turki kurang begitu diperhitungkan sejak sekularisme menjalar di tubuh Pemerintahan tersebut pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang didalangi oleh Mustafa Kemal Attaturk yang kemudian berdampak pada kejatuhan ekonomi serta kesenjangan sosial yang akut di negara tersebut. Justru yang lebih dominan untuk berkesempatan menyebarkan pengaruh politik adalah Arab saudi vs Iran. Perseteruan kedua negara ini kemudian mendalangi terjadinya Proxy War (perang dingin) yang berkepanjangan di negara-negara Timur Tengah tersebut.

Keangkuhan dan egoisme sejarah menjadikan mereka ingin menjadi satu-satunya negara adidaya yang paling berpengaruh di negara kawasan yang melimpah akan cadangan minyak tersebut. Maka tak ayal kedua negara ini saling berebutan ‘kue’ pengaruh di kawasan dan mulai menanamkannya di Dunia Islam di mulai dari negara-negara Timur Tengah. Berbagai pihak pun menuding bahwa kedua negara ini yang melatar belakangi terjadinya konflik di berbagai negara di Timur Tengah dengan beragam spekulasi yang hampir serupa. 

Penulis pun berpendapat demikian, sebab jika dilihat ketika Arab Spring bergejolak sejak tahun 2011 lalu, kedua negara ini bisa dibilang cukup kondusif dan stabil, dan negara-negara yang berkonflik pada ‘sungkeman’ pada salah satu dari kedua negara tersebut. Seperti Suriah yang dipimpin oleh Bashar al-Assad yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah Iran, maka pemberontak meminta dukungan dan bantuan penuh pada Saudi. Begitu pula di Yaman, jika Saudi mendukung Presiden al-Hadi, maka Iran mendukung pemberontak al-Houthi, jika Iran mendukung Hamas di Palestina, maka Saudi lebih mendukung Fatah yg dipimpin oleh Pesiden Palestina Mahmoud Abbas, dan tentu masih banyak lagi.

Namun tampaknya Arab Saudi terlihat mengalami kemunduran dan mulai kehilangan taringnya dalam menanamkan pengaruhnya dari lawan politiknya Iran. Sementara kebangkitan pengaruh dominasi Iran terhadap Timur Tengah mulai menampakkan taring dan menancapkan kukunya, kemenangan antek-antek Iran di Timur tengah seperti Bashar al-Assad yang masih bertahan di Suriah, kemenangan milisi Syiah Houthi atas Yaman dan pasukan Hizbullah di Lebanon serta kemenangan Hamas dalam Pemilu parlemen Palestina menjadi bukti semakin kuatnya pengaruh dominasi kekuasaan politik (hegemoni) Iran di kawasan. 

Satu persatu negara-negara Timur Tengah masuk kedalam ‘kantong’ Iran. Sementara Saudi semakin terpukul dan kewalahan menghadapi derasnya pengaruh Iran. Memang Arab Saudi merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat, tentu ini seharusnya akan menjadi kerjasama yang empuk untuk menagkal pengaruh Iran dikawasan. Meskipun kita sama-sama tahu bahwa Amerika pun punya kepentingan tersendiri di Timur Tengah, setidaknya terhadap dua hal, yaitu untuk mempertahankan eksistensi negara Israel yang berada ditengah-tengah negara Islam dan eksistensi negara yahudi itu kemudian dijadikan ‘cover up’ untuk mendapatkan lahan-lahan cadangan Minyak.

Tentu Arab Saudi merupakan negara yang dianggap pas untuk diajak bekerja sama, karena negara ini dikenal sebagai penghasil cadangan minyak terbesar di dunia pastilah membuat Amerika semakin tergiur dan meneteskan air liur dari mulutnya. Karena bagi Amerika minyak merupakan sumber kehidupan dan penggerak roda perekonomian Amerika dalam mencapai tujuannya, yaitu memperkuat pijakan kaki sebagai Adikuasa di muka bumi. Dan sikap Iran atas Amerika yang selalu mengkampanyekan ujaran kebencian (Hate Speech) terhadap Amerika dalam setiap retorikanya membuat hubungan Saudi dan Amerika semakin kompak untuk ‘menghabisi’ Iran sebagai common enemy (musuh bersama). 

Sementara Iran menganggap Amerika sebagai musuh bebuyutan dan lebih memilih negara Komunis Rusia sebagai sekutu. Dan Rusia pun tentu menyambut gembira atas kedatangan Iran sebagai partnernya karena Iran juga termasuk negara penghasil cadangan minyak setelah Arab Saudi. Dan dengan bekerja sama dengan Iran untuk menghadang pengaruh Saudi yang bekerja sama dengan Amerika tentu membuka kesempatan bagi Rusia untuk membalas dendam atas kekalahannya dalam perang dingin yang berlangsung selama 40 tahun.

Ternyata persekutuan antara Saudi-Amerika VS Iran-Rusia menciptakan simbiosa yang sangat mutualis untuk saling berebut pengaruh dan kepentingan. Akan tetapi semasa kekuasaan Saudi berada dibawah kepemimpinan Raja Abdullah bin Abd. Aziz kelihatannya Arab seperti tidak memiliki gigi. Bahkan ketika konflik Israel-Palestina bergejolak Arab Saudi hanya memandang dan mengulurkan tangan dari jarak yang cukup jauh. Namun Iran nyatanya juga hanya berani unjuk gigi sebatas retorika semata. Akan tetapi Suriah melalui Presiden Bashar al-Assad secara diam-diam ‘berani mengirimkan bantuan logistik senjata kepada Hamas. Hal ini membuat hamas merasa berterima kasih terhadap Suriah, bahkan seorang ulama terkenal Syeikh Yusuf Qardhawi sempat memuji Assad sebagai sosok yang jenius dan bijaksana sampai akhirnya beliau menyadari akan kekeliruannya dalam memberi pujian terhadap Assad dan menarik kembali pujiannya karena ternyata Assad berubah menjadi sosok yang otoriter, diktator dan dzhalim.

Namun perubahan arah politik Arab Saudi tampak berubah pasca wafatnya raja Abdullah bin Abd. Aziz yang kemudian digantikan oleh Salman bin Abdul Aziz. Arah peta politik raja Salman terlihat lebih terbuka membusungkan dada dan kembali menempatkan Iran sebagai ‘musuh utama’ ketimbang musuh Arab Saudi yang lainnya, yaitu Ikhwanul Muslimin (IM). Sementara raja Saudi sebelumnya yaitu Abdullah lebih mengutamakan untuk ‘menghajar’ Ikhwanul Muslimin terlebih dahulu dan sedikit lebih diam terhadap Iran setidaknya untuk sementara waktu, inilah maksud penulis mengatakan “tidak memiliki gigi”. Sedangkan raja Salman lebih bersikap keras terhadap Iran dan sedikit lebih berdamai dengan Ikhwanul Muslimin (meskipun raja Salman juga tetap menjadikan IM sebagai lawan). 

Dari sini jelas terlihat perbedan pandangan politik antara raja Salman dengan Pendahulunya. Sikap politik Saudi dibawah komando Salman dalam menangkal pengaruh Iran tampak semakin nyata terlihat ketika Arab saudi dan negara-negara teluk lainnya yang merupakan sekutunya membentuk sebuah Aliansi Strategi Militer yang disebut Koalisi negara-negara Arab yang terdiri lebih dari 30 negara.

Namun semua negara-negara yang berada dalam koalisi tersebut seperti hanya ‘numpang nama’ saja dan berlindung dibalik ketiak Salman, dan menyerahkan urusan perebutan pengaruhnya terhadap Saudi semata, sementara pemimpin negara teluk lebih memilih untuk mencari aman dan membantu dari kejauhan, karena melawan Iran secara langsung sangatlah beresiko terhadap kekuasaan mereka dan dapat mengganggu stabilitas dalam negerinya. Itulah sebabnya mereka lebih suka menunggu keberanian Saudi dan hanya membantu dari kejauhan, baik secara moriil maupun materiil. seperti yang terjadi beberapa waktu lalu ketika Saudi meluncurkan serangan roket terhadap pemberontak Houthi Yaman yang mengakibatkan serangan roket balasan dari pihak Houthi yang akan menyasar ke kota suci Mekkah, meskipun roket tersebut berhasil dicegah namun itu menjadi bukti bahwa Saudi harus menghadapi kekuatan Iran seorang diri.

Satu-satunya cara Saudi untuk menghadapi pengaruh dominasi Iran dikawasan yang semakin kuat ialah mencari sekutu dari negara lain yang dianggap mampu dan stabil kondisi negaranya baik dari segi ekonomi maupun militer. Sedangkan Amerika Serikat yang sudah menjadi sekutu Saudi sejak lama juga bersikap tidak jauh berbeda dengan negara-negara teluk, karena Amerika selalu menggunakan politik ‘cover up’ untuk mencapai kepentingannya di Timur Tengah..Erdogan! pemimpin negara Turki ini bisa dibilang cukup menarik perhatian untuk dilirik oleh Raja Salman sebagai sekutu. Padahal selama ini Turki dikenal selalu berseberangan sikap secara politik dengan Arab Saudi, juga lantaran karena egoisme sejarah dimana turki merupakan pemerintahan kekhalifan terakhir yaitu Dinasti Utsmaniyah. Lagi-lagi disini raja Salman banyak melakukan perubahan arah peta politik luar negeri dikawasan Timur Tengah. Turki memang sempat terpuruk dari segi ekonomi pasca runtuhnya Dinasti Utsmani dan bangkitnya gejolak Sekularisme di Turki.

Namun semenjak hadirnya Erdogan dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan Republik Turki, kekuatan ekonomi dan militer dinegara ini meningkat cukup signifikan dan stabil. Dengan kemapanan ekonomi dan militer yang dimilki Turki maupun Saudi tentulah akan membuat persekutuan dua negara ini cukup menjanjikan. Ditambah lagi Turki juga memiliki kepentingan untuk menekan Iran terkait dengan kasus Pengungsian penduduk sipil Suriah diperbatasan yang terus meningkat. Namun ternyata bersekutu dengan Turki memiliki resiko dan konsekuensi serius bagi Saudi. 

Berkoalisinya Saudi dengan Turki yang dipimpin oleh Erdogan menimbulkan masalah baru, khususnya bagi sikap Saudi terhadap status Ikhwanul Muslimin. Erdogan  yang berasal dari Partai Keadilan Turki (AKP) dikenal sebagai turunan ideologi Ikhwanul Muslimin layaknya PKS di Indonesia. sementara telah diketahui jauh-jauh hari sebelumnya bahwa Arab Saudi memasukkan Ikhwanul Muslimin kedalam daftar organisasi Teroris setelah jatuhnya presiden Muhammad Mursi di mesir yang digulingkan oleh kudeta militer yang dipimpin Jenderal Abdel fatah al-sisi yang kini menjadi presiden menggantikan Presiden Terkudeta.

Tentu hubungan ini membuat raja Salman merasakan ‘kegalauan’, karena tentu lagi-lagi raja Salman harus merombak jauh arah peta politik yang selama ini berjalan demi mewujudkan dominasi pengaruhnya di Timur Tengah daripada Iran. Tentu Saudi ‘terpaksa’ harus rela mencabut daftar Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi Teroris sebagai konsekuensi dan bentuk Imbalan atas bantuan Turki terhadap Saudi. tapi tentu saja, ini semua merupakan rangkaian dari politik, tidak ada yang pasti. Hal yang wajar dan dapat dimaklumi ketika Saudi nantinya akan berbagi ‘kue’ dengan Turki dan menjadi akrab, setidaknya untuk sementara waktu setidaknya sampai kepentingan sesaat mereka bersama berhasil, yaitu mencabut pengaruh Iran dari kawasan Timur Tengah. Setelah itu apa yang terjadi dengan Saudi dan Turki selanjutnya? Wallahu a’lam, namanya juga politik, tidak ada yang namanya teman berbagi ataupun musuh sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Konflik yang kian membara bukan hanya menjalar ke kawasan Timur tengah namun juga ke belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia oleh sebagian negara-negara Timur Tengah sangat diharapkan peranannya sebagai fasilitator dan penengah dalam mendamaikan berbagai macam konflik yang terus membara di Timur Tengah, khususnya antara Saudi dengan Iran. Namun sepertinya di dalam internal Indonesia sendiri sulit untuk diharapkan dikarenakan pemerintah disibukkan dengan permasalahan politik di dalam negerinya. 

Jargon politik luar negeri yang bebas aktif yang dari dulu sudah dipasang oleh Indonesia seakan hanya membeku di atas kertas tidak mencair kedalam aktualisasi pemerintah dalam mewujudkan perdamaian dunia sebagai cita-cita bangsa. Namun permasalahan konflik di Timur Tengah kian kompleks tatkala emanasi (pemanasan) konflik ditimur tengah yang awalnya merupakan isu perebutan pengaruh dan dominasi kekuasaan berubah menjadi isu agama dan sentimen sektarian ketika fenomena konflik ini di ‘ekspor’ ke luar negeri.

Isu tentang adanya pergolakan antara Sunni dengan Syi’ah kembai muncul kepermukaan dan semakin memancing panasnya suasana. Bagaimanapun juga Arab Saudi yang merupakan representasi sebagai Islam Sunni sudah dianggap oleh Masyarakat dunia Islam sebagai jantung dunia Islam. Oleh sebeb itu Arab Saudi merasa berkewajiban untuk menjaga kehormatan itu. Sementara Republik Islam Iran yang merupakan representasi Islam Syi’ah tentu membuat cita rasa keduanya terasa berbeda dihati umat Islam, kecuali bagi pemeluk Syi’ah. 

Sejujurnya memang jika kita kembali melihat sejarah munculnya sektarian antara Sunni dan Si’ah ini juga tidak lepas dari persoalan perbedaan pandangan politik, yaitu antara yang berpendapat bahwa Rasulullah menunjuk Ali r.a sebagai yang berhak menggantikan posisi kepemimpinan beliau sebagai Khalifah dengan yang berpendapat penunjukkan kepemimpinan khalifah melalui musyawarah (syura’). Meskipun mayoritas umat Islam memilih Abu Bakar r.a sebagai pengganti Rasulullah sebagai Khalifah.

Namun ternyata perbedaan politik ini berujung tajam di antara kedua pihak, puncaknya ialah ketika terjadinya peristiwa tahkim (arbitrase/perundingan) antara pihak yang bertikai, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan dengan Ali bin Abi Thalib pasca terjadinya perang Siffin yang memilukan. Dari sinilah awal mulanya perpecahan antara Sunni dengan Syi’ah terjadi. Ironisnya lambat laun perpecahan politik itu menimbulkan rasa dendam dan kebencian di antara salah satu kelompok akibat kekalahan dalam politik sehingga menggesek terjadinya perbedaan Teologi. Namun dalam kasus konflik Timur Tengah ini, khususnya ketegangan antara Saudi dengan Iran, menurut seorang pengamat politik Timur Tengah Dr. Siti Muthi’ah Setyawati, MA adalah murni karena perebutan kekuasaan ketimbang permasalahan sektarianisme antara Mazhab Sunni dengan Syi’ah. 

Dan penulis juga cenderung berpendapat demikian, bahwa isu sektarianisme agama justeru menjadi isu yang kesekian bagi pihak Saudi maupun Iran, justru isu politik lebih kental. Karena jika Isu agama menjadi faktor yang melatarbelakangi adanya konflik tidak mungkin mereka baik itu Saudi maupun Iran bersekutu dengan pihak luar (Amerika dan Rusia) yang secara akidah lebih berseberangan. Arab Saudi yang sudah dianggap sebagai jantung dunia Islam tentu tidak mau bekerja sama dengan pihak luar dan mempertaruhkan kehormatan negaranya dimata umat Islam, Saudi pasti akan lebih memilih bekerja sama dengan negara yang mayoritas Islam atau paling tidak bekerja sama dengan pihak luar yang tidak memiliki kepentingan terhadap dunia Islam seperti Amerika.

Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, Arab Saudi tetap mempertahankan Amerika sebagai sekutu seperjalanan dalam menangkal pengaruh Iran dan Amerika juga tetap masih memanjakan Saudi. Ini membuktikan sekali lagi bahwa kedua negara tersebut tegang bukan karena faktor sektarianisme agama, melainkan karena kepentingan pengaruh politik dan dominasi kekuasaan. 

Namun timbul pertanyaan, jika memang pertarungan pengaruh antara Saudi dengan Iran murni Politik dan bukan Sektarian, lantas mengapa setiap berbagai macam konflik yang terjadi di Timur Tengah selalu melibatkan kelompok Sektarian diantara dua kubu yang bertikai? Dan kenapa Saudi selalu berada dipihak yang Sunni dan Iran mendukung kelompok Syi’ah? Pertanyaan seperti ini sebenarnya mudah saja terjawab, sebelumnhy penulis katakan bahwa konflik yang awalnya murni persoalan hegemoni kekuasaan berubah menjadi Isu sentimen sektarian ketika berita konflik ini di ‘ekspor’ ke dunia Islam, termasuk Indonesia didalamnya. Memang diakui bahwa isu agama memang selalu menjadi alat ‘dagangan’ yang empuk dan laris untuk kepentingan politik. 

Menurut Analis politik Islam Dr. Muhammad Anis, MA mengatakan bahwa Isu sekatarianisme agama merupakan isu yang paling ‘seksi’ untuk dijadikan alat kampanye dalam mencari dukungan, karena dengan isu agama rasa fanatisme masyarakat Islam akan lebih kental ketimbang dengan menggunakan isu politik. Karena jika kedua belah pihak mencari dan mengajak untuk mendapatkan dukungan dengan konteks politik yang sebenarnya terjadi, mungkin tidak akan ada orang yang tertarik, tapi ketika konflik itu di bungkus dalam konteks agama khususnya sektarian antara Sunni dengan Syiah, barulah ketertarikan itu ada

Rasa fanatisme yang muncul akibat penggembosan isu sektarian inilah yang menyulut emosi masing-masing penganut mazhab baik itu dari golongan Sunni maupun Syi’ah untuk memberikan dukungan. Jadi sekali lagi ketegangan antara Saudi Vs Iran yang merupakan aktor utama terjadinya proxy war yang akhirnya menyebabkan konflik di Timur Tengah lebih dilatarbelakangi oleh perebutan pengaruh politik semata, dan agama hanyalah isu kesekian yang kemudian di bungkus menjadi kemasan yang apik untuk  memperoleh dukungan dari Masyarakat dunia Islam diluar. 

Anehnya, Dunia Islam non-Arab mulai dilibatkan dalam konflik tersebut termasuk Indonesia, tentunya dengan cara-cara ‘menjual’ isu sentimen sektarianisme agama tadi. Parahnya, para kelompok pendakwah fundamentalis Islam yang berada di akar rumput malah membawa masalah konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya baru-baru ini terjadi di kota Aleppo ditarik ke Indonesia dengan sentimen sektarianisme agama tadi secara tidak cerdas, yaitu dengan melakukan berbagai macam kegiatan takfiri, yaitu saling mengkafirkan sehingga malah membawa Indonesia untuk ikut terlibat kedalam pusaran konflik dari nafsu politik tersebut.

Meskipun sebenarnya pada tataran pemerintah Indonesia memang tidak terlibat dan Alhamdulillah masih bisa menjaga netralitasnya (dengan kata lain apatis), namun patut disyukuri bahwa sampai hari ini pemerintah belum ikut-ikutan terlibat kedalam pusaran konflik hegemoni tersebut, tidak seperti negara tetangga Malaysia yang sudah mendeklarasikan bergabung dengan Aliansi koalisi Arab meskipun sangat banyak rakyat Malaysia yang menyayangkan sikap pemimpin negara mereka. Namun sepertinya Saudi dan Iran juga sudah mulai melirik Indonesia untuk diajak bergabung kepada salah satu poros. Hal tersebut terlihat melalui penguatan hubungan bilateral ynag dilakukan oleh kedua negara masing-masing terhadap Indonesia. Arab saudi lebih memilih untuk melakukan rayuan melalui kerjasama di bidang pendidikan, seperti beberapa waktu lalu ketika Presiden Jokowi melakukan lawatan ke Arab Saudi, pihak Saudi berencana untuk membangun dan menambah pendirian LIPIA di beberapa wilayah di Indonesia dan telah mendapatkan izin dari jokowi. 

Tak mau kalah dari Saudi, Iran juga melakukan manuver rayuan, bedanya Iran melakukan pendekatan di bidang Energi, yaitu pengiriman sejumlah cadangan Migas ke Indonesia. Dari sini tampak jelas bahwa kedua negara tersebut memang sangat ambisius berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, bahkan melintasi luar kawasan. Memang Indonesia adalah termasuk negara yang bisa dikatakan cukup potensial untuk dijadikan sahabat seperjuangan, bahkan Barat sekalipun tertarik dengan Indonesia, sehingga wajar jika Saudi dan Iran pun ingin menanamkan pengaruhnya disini. Yah kita lihat sajalah semoga kedepan Indonesia bisa tetap menjaga jarak dan netralitasnya serta mengaktualisasikan politik luar negerinya yang bebas aktif guna menangani konflik yang sudah demikian parah melanda Timur Tengah.

Namun netralitas itu hanya pada tataran pemerintah, sedangkan pada tataran masyarakat khusunya di akar rumput yang lebih banyak terpengaruh oleh isu-isu yang ‘dikampanyekan’ oleh sebagian besar pendakwah fundamentalis (yang secara kuantitatif menguasai diakar rumput) yang kurang memahami geopolitik. Bahkan Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA mengatakan dalam sebuah pengajian bahwa banyak Muballigh/pendakwah/Murabbi hari ini yang tidak mengerti geopolitik sama sekali dan cenderung apatis terhadap politik. 

Bahkan penulis juga mengamati para Muballigh hari ini bukan hanya tidak mengerti politik tetapi juga malah diperalat jadi budak politik oleh elit politik yang berkepentingan dibalik nama dakwah. Lebih lanjut pak Din menambahkan bahwa ketika konflik Timur Tengah terjadi dan permasalahan mau dibawa kemari sementara pemahaman geopolitik lemah untuk ikut campur, akibatnya yang terjadi adalah miss communication sehingga tereduksi menjadi persoalan teologis (isu agama). Sementara peran dan nasihat ulama seolah diabaikan oleh mereka sehingga terkesan seakan-akan pendakwah lebih paham dan mandiri sehingga tidak butuh peran ulama. Memang begitulah karakter kelompok fundamentalis, mereka hanya membawa segala permasalahan kedalam sentimen agama.

Maka dari itu peran para ulama sangat penting dalam mengarahkan masyarakat dan membimbing pendakwah tentang pemahaman dan akar permasalahan konflik Timur Tengah dengan ideologi Syi’ah yang memang terpisah pembahasannya. Kita sebagai umat Islam secara teologi tentu meyakini mana akidah akidah yang lurus dan mana yang bengkok. Secara akidah Syi’ah memang termasuk golongan yang sudah melenceng, akan tetapi tidak semua permasalahan yang terjadi di dalam dunia Islam harus dibaca hanya dengan kaca mata Teologis. Harus ada pembacaan yang lebih luas yaitu dari segi pemahaman geopolitik, histori peradaban dan situasi global masa modern. 

Apalagi dengan melihat peristiwa yang terjadi dalam berbagai sudut pandang dan aktor yang ada dibaliknya, jelas ini bukanlah perang agama apalagi sektarian, tapi ini merupakan perang dingin (proxy war) yang Saudi dan Iran berlindung dibaliknya untuk menanamkan hegemoni kekuasaan dan pengaruh politik yang didasarkan kepada ‘keangkuhan’ terhadap peradaban sejarahnya masing-masing. Lantas apakah kita sebagai Umat Islam masih bersikukuh melihat konflik ini sebagai isu Sektarianisme agama (Sunni-Syi’ah) dan rela mengacaukan stabilitas dalam negeri hanya karena mereduksi informasi yang sebenarnya terjadi?

Harapan kita semua tentu saja berdoa dan berusaha semampu kita semoga konflik yang bergejolak di Timur Tengah selama 5 tahun agar bisa segera selesai. Tentunya semua ini hanya bisa selesai jika Arab Saudi dan Iran bisa saling menahan ke egoisan diri dari nafsu kekuasaan yang selama ini di impikan dan melihat lebih dalam akan dampak yang telah mereka perbuat akibat proxy war yang telah mereka ciptakan di kawasan. Jutaan penduduk sipil yang tidak tahu menahu menjadi korban, ribuan nyawa manusia melayang, sementara yang masih bertahan hidup ditengah puing-puing dan kesedihan yang mendalam.

 Tentulah akan lebih baik jika kekuatan energi dan pengaruh yang dimiliki oleh Saudi maupun Iran digunakan untuk menciptakan kekuatan ekonomi dan  militer dikawasan Timur Tengah untuk kepentingan pembebasan Masjidil Aqsa dan Palestina dari pengaruh eksistensi negara Yahudi. dan itu hanya bisa dilakukan oleh kekuatan yang didalam diri mereka sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak luar (Barat). Karena Meskipun Saudi dan Iran adalah aktor dibalik konflik Proxy war yang terjadi di Timur Tengah, namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa campur tangan Barat (Amerika dan Rusia)  turut ikut serta atas konflik yang terjadi demi kepentingan mereka sendiri. Karena ketegangan Saudi dan Iran tidak akan mungkin bisa diredam jika Barat masih turut ikut campur ‘menggembosi’ terhadap urusan politik dan kepentingan kedua negara tersebut.

Terakhir harapan kita kepada pemerintah Indonesia agar memainkan peran lebih untuk mengatasi konflik politik yang berkepanjangan tersebut, tentu dengan tetap menjaga netralitas yang ada. Tentu netralitas yang dimaksud bukanlah sekedar netral yang apatis melainkan netral yang bebas aktif sesuai dengan sikap politik luar negeri kita agar segera kembali diaktualisasikan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu turut serta dalam menjaga perdamaian dunia................Amiin yaa Rabbal 'alamiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun