Penulis pun berpendapat demikian, sebab jika dilihat ketika Arab Spring bergejolak sejak tahun 2011 lalu, kedua negara ini bisa dibilang cukup kondusif dan stabil, dan negara-negara yang berkonflik pada ‘sungkeman’ pada salah satu dari kedua negara tersebut. Seperti Suriah yang dipimpin oleh Bashar al-Assad yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah Iran, maka pemberontak meminta dukungan dan bantuan penuh pada Saudi. Begitu pula di Yaman, jika Saudi mendukung Presiden al-Hadi, maka Iran mendukung pemberontak al-Houthi, jika Iran mendukung Hamas di Palestina, maka Saudi lebih mendukung Fatah yg dipimpin oleh Pesiden Palestina Mahmoud Abbas, dan tentu masih banyak lagi.
Namun tampaknya Arab Saudi terlihat mengalami kemunduran dan mulai kehilangan taringnya dalam menanamkan pengaruhnya dari lawan politiknya Iran. Sementara kebangkitan pengaruh dominasi Iran terhadap Timur Tengah mulai menampakkan taring dan menancapkan kukunya, kemenangan antek-antek Iran di Timur tengah seperti Bashar al-Assad yang masih bertahan di Suriah, kemenangan milisi Syiah Houthi atas Yaman dan pasukan Hizbullah di Lebanon serta kemenangan Hamas dalam Pemilu parlemen Palestina menjadi bukti semakin kuatnya pengaruh dominasi kekuasaan politik (hegemoni) Iran di kawasan.
Satu persatu negara-negara Timur Tengah masuk kedalam ‘kantong’ Iran. Sementara Saudi semakin terpukul dan kewalahan menghadapi derasnya pengaruh Iran. Memang Arab Saudi merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat, tentu ini seharusnya akan menjadi kerjasama yang empuk untuk menagkal pengaruh Iran dikawasan. Meskipun kita sama-sama tahu bahwa Amerika pun punya kepentingan tersendiri di Timur Tengah, setidaknya terhadap dua hal, yaitu untuk mempertahankan eksistensi negara Israel yang berada ditengah-tengah negara Islam dan eksistensi negara yahudi itu kemudian dijadikan ‘cover up’ untuk mendapatkan lahan-lahan cadangan Minyak.
Tentu Arab Saudi merupakan negara yang dianggap pas untuk diajak bekerja sama, karena negara ini dikenal sebagai penghasil cadangan minyak terbesar di dunia pastilah membuat Amerika semakin tergiur dan meneteskan air liur dari mulutnya. Karena bagi Amerika minyak merupakan sumber kehidupan dan penggerak roda perekonomian Amerika dalam mencapai tujuannya, yaitu memperkuat pijakan kaki sebagai Adikuasa di muka bumi. Dan sikap Iran atas Amerika yang selalu mengkampanyekan ujaran kebencian (Hate Speech) terhadap Amerika dalam setiap retorikanya membuat hubungan Saudi dan Amerika semakin kompak untuk ‘menghabisi’ Iran sebagai common enemy (musuh bersama).
Sementara Iran menganggap Amerika sebagai musuh bebuyutan dan lebih memilih negara Komunis Rusia sebagai sekutu. Dan Rusia pun tentu menyambut gembira atas kedatangan Iran sebagai partnernya karena Iran juga termasuk negara penghasil cadangan minyak setelah Arab Saudi. Dan dengan bekerja sama dengan Iran untuk menghadang pengaruh Saudi yang bekerja sama dengan Amerika tentu membuka kesempatan bagi Rusia untuk membalas dendam atas kekalahannya dalam perang dingin yang berlangsung selama 40 tahun.
Ternyata persekutuan antara Saudi-Amerika VS Iran-Rusia menciptakan simbiosa yang sangat mutualis untuk saling berebut pengaruh dan kepentingan. Akan tetapi semasa kekuasaan Saudi berada dibawah kepemimpinan Raja Abdullah bin Abd. Aziz kelihatannya Arab seperti tidak memiliki gigi. Bahkan ketika konflik Israel-Palestina bergejolak Arab Saudi hanya memandang dan mengulurkan tangan dari jarak yang cukup jauh. Namun Iran nyatanya juga hanya berani unjuk gigi sebatas retorika semata. Akan tetapi Suriah melalui Presiden Bashar al-Assad secara diam-diam ‘berani mengirimkan bantuan logistik senjata kepada Hamas. Hal ini membuat hamas merasa berterima kasih terhadap Suriah, bahkan seorang ulama terkenal Syeikh Yusuf Qardhawi sempat memuji Assad sebagai sosok yang jenius dan bijaksana sampai akhirnya beliau menyadari akan kekeliruannya dalam memberi pujian terhadap Assad dan menarik kembali pujiannya karena ternyata Assad berubah menjadi sosok yang otoriter, diktator dan dzhalim.
Namun perubahan arah politik Arab Saudi tampak berubah pasca wafatnya raja Abdullah bin Abd. Aziz yang kemudian digantikan oleh Salman bin Abdul Aziz. Arah peta politik raja Salman terlihat lebih terbuka membusungkan dada dan kembali menempatkan Iran sebagai ‘musuh utama’ ketimbang musuh Arab Saudi yang lainnya, yaitu Ikhwanul Muslimin (IM). Sementara raja Saudi sebelumnya yaitu Abdullah lebih mengutamakan untuk ‘menghajar’ Ikhwanul Muslimin terlebih dahulu dan sedikit lebih diam terhadap Iran setidaknya untuk sementara waktu, inilah maksud penulis mengatakan “tidak memiliki gigi”. Sedangkan raja Salman lebih bersikap keras terhadap Iran dan sedikit lebih berdamai dengan Ikhwanul Muslimin (meskipun raja Salman juga tetap menjadikan IM sebagai lawan).
Dari sini jelas terlihat perbedan pandangan politik antara raja Salman dengan Pendahulunya. Sikap politik Saudi dibawah komando Salman dalam menangkal pengaruh Iran tampak semakin nyata terlihat ketika Arab saudi dan negara-negara teluk lainnya yang merupakan sekutunya membentuk sebuah Aliansi Strategi Militer yang disebut Koalisi negara-negara Arab yang terdiri lebih dari 30 negara.
Namun semua negara-negara yang berada dalam koalisi tersebut seperti hanya ‘numpang nama’ saja dan berlindung dibalik ketiak Salman, dan menyerahkan urusan perebutan pengaruhnya terhadap Saudi semata, sementara pemimpin negara teluk lebih memilih untuk mencari aman dan membantu dari kejauhan, karena melawan Iran secara langsung sangatlah beresiko terhadap kekuasaan mereka dan dapat mengganggu stabilitas dalam negerinya. Itulah sebabnya mereka lebih suka menunggu keberanian Saudi dan hanya membantu dari kejauhan, baik secara moriil maupun materiil. seperti yang terjadi beberapa waktu lalu ketika Saudi meluncurkan serangan roket terhadap pemberontak Houthi Yaman yang mengakibatkan serangan roket balasan dari pihak Houthi yang akan menyasar ke kota suci Mekkah, meskipun roket tersebut berhasil dicegah namun itu menjadi bukti bahwa Saudi harus menghadapi kekuatan Iran seorang diri.
Satu-satunya cara Saudi untuk menghadapi pengaruh dominasi Iran dikawasan yang semakin kuat ialah mencari sekutu dari negara lain yang dianggap mampu dan stabil kondisi negaranya baik dari segi ekonomi maupun militer. Sedangkan Amerika Serikat yang sudah menjadi sekutu Saudi sejak lama juga bersikap tidak jauh berbeda dengan negara-negara teluk, karena Amerika selalu menggunakan politik ‘cover up’ untuk mencapai kepentingannya di Timur Tengah..Erdogan! pemimpin negara Turki ini bisa dibilang cukup menarik perhatian untuk dilirik oleh Raja Salman sebagai sekutu. Padahal selama ini Turki dikenal selalu berseberangan sikap secara politik dengan Arab Saudi, juga lantaran karena egoisme sejarah dimana turki merupakan pemerintahan kekhalifan terakhir yaitu Dinasti Utsmaniyah. Lagi-lagi disini raja Salman banyak melakukan perubahan arah peta politik luar negeri dikawasan Timur Tengah. Turki memang sempat terpuruk dari segi ekonomi pasca runtuhnya Dinasti Utsmani dan bangkitnya gejolak Sekularisme di Turki.
Namun semenjak hadirnya Erdogan dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan Republik Turki, kekuatan ekonomi dan militer dinegara ini meningkat cukup signifikan dan stabil. Dengan kemapanan ekonomi dan militer yang dimilki Turki maupun Saudi tentulah akan membuat persekutuan dua negara ini cukup menjanjikan. Ditambah lagi Turki juga memiliki kepentingan untuk menekan Iran terkait dengan kasus Pengungsian penduduk sipil Suriah diperbatasan yang terus meningkat. Namun ternyata bersekutu dengan Turki memiliki resiko dan konsekuensi serius bagi Saudi.