Ada Apa Dengan Siauw
Jika selama ini Siauw suka sekali mengatasnamakan "ajaran islam", harusnya Siauw sadar bahwa apa yang dilakukan nabi Muhammad dan islam jauh sebelum adanya feminisme, adalah membuka peluang bagi hak-hak perempuan. Lantas kenapa sekarang Siauw (dan kebanyakan “pengemban dakwah” lainnya) justru menggunakan segenap ayat-ayat untuk membatasi ruang gerak perempuan?
Penyebabnya tentu bisa banyak hal, bisa melalui pengalaman pribadi yang Siauw jalani, mungkin juga ditambah keengganan mempelajari sesuatu yang bersumber dari apapun yang "bukan islam". Namun secara garis besar, saya menyimpulkan mental patriarkis-lah yang membentuk karakter Siauw, termasuk karakter twitnya. Dalam hal ini, Siauw memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tapi Siauw menjadi salah ketika dia menolak untuk peduli dan menularkan pemikiran salahnya tersebut pada orang banyak.
Siauw yang laki-laki, misoginis, jelas menikmati perannya sebagai “pemimpin” atau sebagai peran gender yang “lebih diutamakan” dalam lingkungan sosial yang patriarkis. Untuk memberi makan ego tersebut, biasanya setiap orang punya cara yang berbeda. Kebetulan (dan sialnya), Siauw memilih jalan “dakwah” dan menjual potongan ayat dengan tafsiran literal (yang penting cukup buat mewakili kepentingannya) demi melanggengkan status quo sebagai peran gender yang powerful.
Umpan Siauw dimakan oleh “jamaah”nya melalui ratusan retweet. Melalui proses tersebut gagasan Siauw menyebar, dan bagi beberapa orang dimaknai sebagai sebuah fakta. Disaat bersamaan, orang dibatasi imajinasinya tentang peran agama dalam kehidupan sosial. Sehingga banyak yang lupa untuk berpikir bahwa islam (setelah ribuan tahun sejak ditinggal Nabi Muhammad SAW) seharusnya sudah jauh lebih dinamis. Begitu pula dalam konteks peran gender. Jika dulu islam (dalam konteks masyarakat Arab) bisa begitu progresif, mengapa sekarang tidak?
Jadi tidak heran kan jika di khutbah-khutbah Jum’at banyak Khatib yang berbusa bicara soal masa-masa mangkrak suram ummat Islam. Tapi tidak pernah bisa menjelaskan lebih dari, “Kita sedang diserang gagasan liberal, komunis!” atau “Bangsa kita sedang krisis moral karena kurang menerapkan ajaran islam!” atau semacamnya. Huft, ayolah. Saya sih lebih suka menanamkan islam saya didalam hati, biar yang terpancar keluar adalah cerminan saya sebagai manusia yang rahmatan lil alamin. Begitu juga dengan teman-teman dengan kepercayaan lain, yang saya yakin kepercayaannya punya banyak kebijaksanaan untuk dibagikan.
Sementara Siauw, dalam tiap rangkaian kultwitnya (entah mengapa) memang suka sekali mengarahkan pada perempuan. Saya tebak mungkin karena Siauw menganggap perempuan merupakan tulang punggung moral bagi sebuah bangsa, kaum, atau ummat. Maka nelangsa sekali menjadi perempuan. Sudahlah tidak boleh “go public”, ia juga harus jadi barometer moral yang sejatinya merupakan dialektika dari interaksi manusia sebagai makhluk sosial. Bukan cuma perempuan. Yaa jadi tidak heran lah ya, mengapa Siauw hobi sekali mengkonstruksi makna “perempuan ideal” dalam setiap “dakwah”nya.
Jadi ya Bung Felix Siauw, feminisme menjadi sangat penting karena di dunia ini masih banyak orang-orang seperti anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H