Tidakkah Siauw bisa berpikir lebih kreatif dalam membagi peran suami-istri, sehingga keduanya (baik suami maupun istri) bisa sama-sama menjalankan fungsi/peran sosial dan domestiknya sebagai manusia yang paripurna? Mungkin hal ini yang tidak masuk dalam logika Siauw.
3. Pembagian Peran Gender Harus Bersifat Rigid
Apakah benar dalam sebuah rumah tangga perempuan harus melulu mengurus rumah dan laki-laki harus melulu mencari nafkah?
Ya, sudah tahun 2016. Sudah tahun 1437 Hijriyah (kalau mau terlihat lebih syar’i) dan masih saja "dakwah" yang dikemukakan adalah seputar perempuan harus dirumah dan laki-laki mencari nafkah, saat Marie Curie sudah menang nobel kimia sejak tahun 1911, alias tahun 1332 Hijriyah. Saya jamin Marie Curie nggak akan bisa berkontribusi sebesar itu buat peradaban umat ini kalau suaminya seperti Siauw.
Dalam “dakwah”nya Siauw, pembagian peran gender diklasifikasi secara sangat kaku. Padahal yang begini ini bukankah justru mempersempit potensi manusia, bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Perempuan dipisahkan dari konteks sosialnya untuk mengurus rumah dan anak. Sedangkan laki-laki dipisahkan dari konteks rumah tangga, meskipun ia diposisikan sebagai ‘pemimpin’. Padahal jika Siauw mengakui perempuan bisa bekerja diluar sambil mengurus pekerjaan domestik, bukankah seharusnya laki-lakipun bisa? Sehingga tidak perlu ada beban ganda bagi perempuan pekerja.
Simpelnya, mengapa Siauw tidak pernah memberi alternatif bagi perempuan yang ingin bekerja untuk berbagi pekerjaan rumah tangganya dengan suami. Bukankah esensi dari rumah tangga adalah mendiskusikan permasalahan sesuai konteks, dan mencari jalan keluar yang adil bersama? Selama komunikasi berjalan lancar, ibu dan ayah memilih untuk bekerja, pembagian peran rumah tangga berjalan adil, dan anak tetap tumbuh dengan baik, kenapa Siauw harus repot mengkonstruksikan full time mother sebagai peran ideal seorang Muslimah? Kan tidak semua persoalan rumah tangga harus dinegosiasikan dengan pertengkaran, seperti yang selama ini Siauw stigmatisasikan soal rumah tangga perempuan pekerja.
4. Feminisme Merupakan Akar Dari Semua Permasalahan Sosial
Ya, Siauw seringkali menganggap feminisme sebagai biang keretakan rumah tangga, dan oleh sebab itu menjadi biang dari permasalahan sosial lain seperti kenakalan anak dan penyimpangan lainnya. Ya saya berkhusnuzon pikiran ini muncul lantaran Siauw memang tidak tau apa-apa soal feminisme bahkan mungkin tidak tau apa-apa soal problem sosial yang sangat kompleks dan kontekstual.
Siauw juga sepertinya girang sekali saat membeberkan data angka perceraian yang tinggi di A.S, dan lantas mengaitkannya dengan feminisme. Saya sih iba saja dengan ketidakmampuan Siauw dalam membaca konteks sosial. Saya yakin Siauw mengabaikan sama sekali konteks sosial-budaya dan ekonomi-politik yang melatari tingginya angka perceraian.
Ayolah, krisis ekonomi serta ketimpangan pendapatan dan kesulitan lapangan kerja di A.S yang menjadi penyebab utama tingginya angka perceraian itu kan bukan salah feminisme. Saya curiga, Siauw mungkin cuma baca judul grafik dan lalu mensharenya di twitter tanpa mau cari tau dulu konteksnya.
Ya, Siauw mungkin memang sekedar suka saja menyalahkan feminisme sebagai biang keladi, persis seperti anggota dewan yang menyalahkan PKI untuk bencana gunung meletus. Kemudian dengan seenaknya bilang “ini akibat feminisme yang mengaburkan peran ayah dan ibu dalam rumah tangga”. Bagaimana perut saya tidak terkocok geli.