Mohon tunggu...
Muhammad Syahrul Ramadhan
Muhammad Syahrul Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Kader HMI, Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Paradigma Toxic Masculinity di Indonesia

9 Januari 2025   01:26 Diperbarui: 9 Januari 2025   01:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena "Toxic Masculinity" atau maskulinitas beracun mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang khususnya di Indonesia. Namun fenomena ini semakin muncul ke permukaan dalam kegiatan-kegiatan diskusi seputar peran gender dan pola pikir di masyarakat terutama di Indonesia.

Toxic masculinity atau maskulinitas toksik adalah suatu konsep yang menggambarkan pola perilaku, sikap, dan norma sosial yang dianggap "maskulin" namun pada kenyataannya berpotensi merusak diri sendiri, orang lain, serta masyarakat secara keseluruhan. Di Indonesia, paradigma toxic masculinity sering terwujud dalam bentuk tekanan terhadap laki-laki untuk memenuhi standar-standar tradisional yang mengutamakan kekuatan fisik, dominasi, dan penindasan emosi. Fenomena ini bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik laki-laki itu sendiri, tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih lemah..

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam masyarakat patriarki, laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan dan otoritas tertinggi. Sistem patriarki ini membagi peran berdasarkan gender, yakni "maskulin" dan "feminin".
Pembagian peran gender ini seolah-olah mengkotak-kotakan bahwa laki-laki harus "maskulin" dan perempuan harus "feminin". Tak jarang, peran ini memberikan beban dan ekspektasi yang merugikan bagi laki-laki maupun perempuan.


Di Indonesia itu sendiri, paradigma toxic masculinity sangat dipengaruhi oleh struktur patriarki yang mengakar dalam budaya dan agama. Beberapa faktor yang memperkuat keberadaan toxic masculinity di Indonesia :

*  Norma tradisional dan patriarki: Masyarakat Indonesia cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai patriarkal, di mana laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang memiliki kewajiban untuk memberi nafkah dan menjaga kehormatan keluarga. Perempuan diharapkan untuk tunduk dan mendukung peran laki-laki ini, yang memperburuk kesenjangan gender.

*  Pandangan agama yang konservatif: Beberapa interpretasi agama, terutama yang berbasis pada teks-teks tradisional, seringkali memperkuat ide bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga dan masyarakat, sementara perempuan diposisikan dalam peran yang lebih subordinat.

*  Pendidikan gender yang stereotip: Sejak usia dini, anak-anak laki-laki di Indonesia seringkali dididik untuk bersikap "kuat", tidak boleh menangis, dan selalu bersikap tegas. Sementara itu, perempuan diajarkan untuk menjadi lemah lembut, pengasuh, dan mendukung laki-laki dalam segala hal. Pola pendidikan ini mendorong pembentukan karakter laki-laki yang keras dan cenderung menindas emosi mereka.

*  Kekerasan dalam hubungan: Kekerasan dalam rumah tangga atau hubungan sering kali dianggap wajar jika dilakukan oleh laki-laki. Dalam beberapa masyarakat Indonesia, laki-laki yang memukul atau mengontrol perempuan terkadang masih dianggap sebagai cara untuk menunjukkan kekuatan atau "melindungi" keluarganya.

Penerapan toxic masculinity di Indonesia tidak hanya membatasi ekspresi diri laki-laki saja, tetapi juga membawa dampak buruk bagi individu dan masyarakat, yaitu akan berdampak kepada kesehatan mental yang buruk dikarenakan laki-laki yang terjebak dalam pola toxic masculinity cenderung akan menekan perasaan mereka dan enggan mencari bantuan ketika mengalami masalah mental. Berdampak juga terhadap kekerasan dan diskriminasi gender, dikarenakan fenomena ini berkontribusi pada ketidaksetaraan gender yang memperkuat pandangan bahwa laki-laki harus memiliki kontrol penuh atas perempuan.

Contoh Toxic Masculinity
Beberapa contoh dari toxic masculinity, antara lain:

1. Menganggap Hubungan Pertemanan Laki-Laki dan Perempuan Tidak Mungkin Terjadi
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity memandang bahwa hubungan platonis tidak mungkin terjadi antara dua gender yang berbeda. Hal ini karena toxic masculinity hanya melihat perempuan dalam konteks hubungan seksual dan romantis.

2. Menahan Emosi Agar Tampak "Maskulin" atau "Jantan"
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity cenderung menutupi bahkan menahan perasaan sedih yang dinilai sebagai sifat "kewanitaan" atau feminin. Oleh karena itu, orang dengan toxic masculinity tidak akan mengekspresikan kesedihan dengan menangis atau berbicara mengenai perasaan emosional karena takut dianggap lemah maupun "feminin".

3. Menganggap Laki-Laki Tidak Bisa Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity tidak mau mengakui dirinya sebagai korban pelecehan seksual. Mereka beranggapan bahwa hanya perempuan yang dapat menjadi korban, dan mengakui diri sebagai korban adalah bagian dari menunjukkan kelemahan.

Survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, menunjukkan bahwa 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), melaporkan bahwa korban kekerasan seksual pada 2022 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, yakni sebesar 60 persen.

4. Meyakini Bahwa Laki-Laki Harus Menjadi Tulang Punggung Keluarga
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity tak jarang melarang pasangannya untuk bekerja karena merasa bahwa itu adalah tugas seorang laki-laki. Dalam hal ini, toxic masculinity membatasi peran sosial dalam masyarakat berdasarkan gender.

Dalam masyarakat patriarki, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang berkewajiban untuk menafkahi keluarganya. Beban dan ekspektasi yang diberikan kepada laki-laki sebagai "tulang punggung keluarga" tak jarang membuat mereka merasa tertekan. Menurut World Health Organization (2022), sekitar 80 persen laki-laki di Amerika Serikat melakukan bunuh diri akibat merasa tidak mampu menjalani peran sosial mereka sebagai laki-laki yang dibebankan oleh masyarakat.

Untuk meruntuhkan paradigma toxic masculinity di Indonesia, diperlukan usaha dari berbagai pihak, baik itu individu, keluarga, pendidikan, hingga masyarakat. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

  • Pendidikan yang lebih inklusif: Mendidik anak-anak sejak dini untuk memahami konsep kesetaraan gender dan memberi ruang bagi anak laki-laki untuk mengungkapkan perasaan mereka akan membantu mengurangi pengaruh toxic masculinity. Pendidikan yang mengajarkan empati dan penghargaan terhadap perempuan juga dapat mengurangi kekerasan berbasis gender.
  • Mendorong laki-laki menjadi agen perubahan: Laki-laki perlu diberdayakan untuk menjadi pendukung kesetaraan gender. Dengan menunjukkan contoh positif dari figur laki-laki yang mendukung hak-hak perempuan dan tidak takut menunjukkan kelemahan mereka, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih seimbang dan harmonis.
  • Peningkatan akses terhadap dukungan kesehatan mental: Layanan kesehatan mental yang ramah laki-laki harus lebih tersedia, di mana laki-laki dapat merasa nyaman untuk berbicara mengenai masalah emosional mereka tanpa takut dianggap lemah. Dukungan ini sangat penting untuk mengurangi stigma terhadap kesehatan mental di kalangan laki-laki.
  • Mendorong perubahan budaya populer: Media dan dunia hiburan memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. Dengan mempromosikan gambaran laki-laki yang lebih lembut, empatik, dan mendukung kesetaraan, media dapat membantu mengubah pandangan masyarakat terhadap maskulinitas.

Paradigma toxic masculinity di Indonesia merupakan tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Memahami konsep maskulinitas toksik dan dampaknya sangat penting untuk memulai perubahan yang lebih luas. Dengan mendidik generasi muda untuk memahami pentingnya ekspresi diri yang sehat dan menghormati semua jenis kelamin, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih baik, di mana laki-laki dan perempuan dapat hidup setara dan saling mendukung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun