2. Menahan Emosi Agar Tampak "Maskulin" atau "Jantan"
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity cenderung menutupi bahkan menahan perasaan sedih yang dinilai sebagai sifat "kewanitaan" atau feminin. Oleh karena itu, orang dengan toxic masculinity tidak akan mengekspresikan kesedihan dengan menangis atau berbicara mengenai perasaan emosional karena takut dianggap lemah maupun "feminin".
3. Menganggap Laki-Laki Tidak Bisa Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity tidak mau mengakui dirinya sebagai korban pelecehan seksual. Mereka beranggapan bahwa hanya perempuan yang dapat menjadi korban, dan mengakui diri sebagai korban adalah bagian dari menunjukkan kelemahan.
Survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, menunjukkan bahwa 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), melaporkan bahwa korban kekerasan seksual pada 2022 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, yakni sebesar 60 persen.
4. Meyakini Bahwa Laki-Laki Harus Menjadi Tulang Punggung Keluarga
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity tak jarang melarang pasangannya untuk bekerja karena merasa bahwa itu adalah tugas seorang laki-laki. Dalam hal ini, toxic masculinity membatasi peran sosial dalam masyarakat berdasarkan gender.
Dalam masyarakat patriarki, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang berkewajiban untuk menafkahi keluarganya. Beban dan ekspektasi yang diberikan kepada laki-laki sebagai "tulang punggung keluarga" tak jarang membuat mereka merasa tertekan. Menurut World Health Organization (2022), sekitar 80 persen laki-laki di Amerika Serikat melakukan bunuh diri akibat merasa tidak mampu menjalani peran sosial mereka sebagai laki-laki yang dibebankan oleh masyarakat.
Untuk meruntuhkan paradigma toxic masculinity di Indonesia, diperlukan usaha dari berbagai pihak, baik itu individu, keluarga, pendidikan, hingga masyarakat. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Pendidikan yang lebih inklusif: Mendidik anak-anak sejak dini untuk memahami konsep kesetaraan gender dan memberi ruang bagi anak laki-laki untuk mengungkapkan perasaan mereka akan membantu mengurangi pengaruh toxic masculinity. Pendidikan yang mengajarkan empati dan penghargaan terhadap perempuan juga dapat mengurangi kekerasan berbasis gender.
- Mendorong laki-laki menjadi agen perubahan: Laki-laki perlu diberdayakan untuk menjadi pendukung kesetaraan gender. Dengan menunjukkan contoh positif dari figur laki-laki yang mendukung hak-hak perempuan dan tidak takut menunjukkan kelemahan mereka, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih seimbang dan harmonis.
- Peningkatan akses terhadap dukungan kesehatan mental: Layanan kesehatan mental yang ramah laki-laki harus lebih tersedia, di mana laki-laki dapat merasa nyaman untuk berbicara mengenai masalah emosional mereka tanpa takut dianggap lemah. Dukungan ini sangat penting untuk mengurangi stigma terhadap kesehatan mental di kalangan laki-laki.
- Mendorong perubahan budaya populer: Media dan dunia hiburan memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. Dengan mempromosikan gambaran laki-laki yang lebih lembut, empatik, dan mendukung kesetaraan, media dapat membantu mengubah pandangan masyarakat terhadap maskulinitas.
Paradigma toxic masculinity di Indonesia merupakan tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Memahami konsep maskulinitas toksik dan dampaknya sangat penting untuk memulai perubahan yang lebih luas. Dengan mendidik generasi muda untuk memahami pentingnya ekspresi diri yang sehat dan menghormati semua jenis kelamin, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih baik, di mana laki-laki dan perempuan dapat hidup setara dan saling mendukung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H