Fenomena "Toxic Masculinity" atau maskulinitas beracun mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang khususnya di Indonesia. Namun fenomena ini semakin muncul ke permukaan dalam kegiatan-kegiatan diskusi seputar peran gender dan pola pikir di masyarakat terutama di Indonesia.
Toxic masculinity atau maskulinitas toksik adalah suatu konsep yang menggambarkan pola perilaku, sikap, dan norma sosial yang dianggap "maskulin" namun pada kenyataannya berpotensi merusak diri sendiri, orang lain, serta masyarakat secara keseluruhan. Di Indonesia, paradigma toxic masculinity sering terwujud dalam bentuk tekanan terhadap laki-laki untuk memenuhi standar-standar tradisional yang mengutamakan kekuatan fisik, dominasi, dan penindasan emosi. Fenomena ini bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik laki-laki itu sendiri, tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih lemah..
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam masyarakat patriarki, laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan dan otoritas tertinggi. Sistem patriarki ini membagi peran berdasarkan gender, yakni "maskulin" dan "feminin".
Pembagian peran gender ini seolah-olah mengkotak-kotakan bahwa laki-laki harus "maskulin" dan perempuan harus "feminin". Tak jarang, peran ini memberikan beban dan ekspektasi yang merugikan bagi laki-laki maupun perempuan.
Di Indonesia itu sendiri, paradigma toxic masculinity sangat dipengaruhi oleh struktur patriarki yang mengakar dalam budaya dan agama. Beberapa faktor yang memperkuat keberadaan toxic masculinity di Indonesia :
* Â Norma tradisional dan patriarki: Masyarakat Indonesia cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai patriarkal, di mana laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang memiliki kewajiban untuk memberi nafkah dan menjaga kehormatan keluarga. Perempuan diharapkan untuk tunduk dan mendukung peran laki-laki ini, yang memperburuk kesenjangan gender.
* Â Pandangan agama yang konservatif: Beberapa interpretasi agama, terutama yang berbasis pada teks-teks tradisional, seringkali memperkuat ide bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga dan masyarakat, sementara perempuan diposisikan dalam peran yang lebih subordinat.
* Â Pendidikan gender yang stereotip: Sejak usia dini, anak-anak laki-laki di Indonesia seringkali dididik untuk bersikap "kuat", tidak boleh menangis, dan selalu bersikap tegas. Sementara itu, perempuan diajarkan untuk menjadi lemah lembut, pengasuh, dan mendukung laki-laki dalam segala hal. Pola pendidikan ini mendorong pembentukan karakter laki-laki yang keras dan cenderung menindas emosi mereka.
* Â Kekerasan dalam hubungan: Kekerasan dalam rumah tangga atau hubungan sering kali dianggap wajar jika dilakukan oleh laki-laki. Dalam beberapa masyarakat Indonesia, laki-laki yang memukul atau mengontrol perempuan terkadang masih dianggap sebagai cara untuk menunjukkan kekuatan atau "melindungi" keluarganya.
Penerapan toxic masculinity di Indonesia tidak hanya membatasi ekspresi diri laki-laki saja, tetapi juga membawa dampak buruk bagi individu dan masyarakat, yaitu akan berdampak kepada kesehatan mental yang buruk dikarenakan laki-laki yang terjebak dalam pola toxic masculinity cenderung akan menekan perasaan mereka dan enggan mencari bantuan ketika mengalami masalah mental. Berdampak juga terhadap kekerasan dan diskriminasi gender, dikarenakan fenomena ini berkontribusi pada ketidaksetaraan gender yang memperkuat pandangan bahwa laki-laki harus memiliki kontrol penuh atas perempuan.
Contoh Toxic Masculinity
Beberapa contoh dari toxic masculinity, antara lain:
1. Menganggap Hubungan Pertemanan Laki-Laki dan Perempuan Tidak Mungkin Terjadi
Laki-laki yang memiliki toxic masculinity memandang bahwa hubungan platonis tidak mungkin terjadi antara dua gender yang berbeda. Hal ini karena toxic masculinity hanya melihat perempuan dalam konteks hubungan seksual dan romantis.