Mohon tunggu...
Ramon Damora
Ramon Damora Mohon Tunggu... -

Penulis, Penikmat Terapi Sendawa, Jarang Menangis, Senang Tertawa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

BBM atawa Belajar Bahasa Manusia

19 November 2014   08:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:26 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

PADA suatu hari, entah apa pasal, seluruh binatang bisa berbicara. Benar-benar bicara. Dunia binatang geger, hiruk, bercampur panik. Harimau tak lagi bisa mengaum, ular kehilangan desis, serigala sulit melolong, burung-burung ingin sekali berkicau tapi tinggal bisu gagau, kuda terpaksa merangkak sebab semangatnya berlari cuma bisa bangkit dengan meringkik.

Seisi Rimba Raya bingung alang, termangu, tenggelam punca. Bukan berarti mereka –tentu yang dimaksud mereka di sini adalah kata ganti binatang ketiga, bukan orang ketiga— tak dapat bersuara sama sekali. Bukan. Semua hewan kini hanya bisa bersuara dengan bahasa manusia. Ini masalahnya. Keseimbangan alam terganggu. Jati diri perikebinatangan terancam berantakan.

Ayam setia terhadap panggilan takdirnya menjaga pagi, tetapi bagaimana kukuruyuk mesti dilafalkan dalam bahasa manusia? “Ah, jangan-jangan bahasa baru ini kelak malah menurunkan pamor kehormatan leluhur kita sebagai kontak terbaik matahari,” keluh seorang ayam, ups, maksudnya seekor ayam, galau.

Kontaaak, kontak, kontak, kontak,” jawab ayam-ayam lain, tumpang tindih. Tak sekompak dahulu. Saat di mana hidup kaum ayam hanya diperjuangkan dengan menjunjung tinggi satu-satunya bahasa persatuan: koteeek, kotek, kotek, kotek. Ayam-ayam berpandangan satu sama lain. Mendadak keterasingan bagai hendak membuncah di tembolok mereka masing-masing.

Demikian juga jangkrik dan burung hantu yang sama-sama mengiringi nyayian malam. Sejak fenomena wicara-haiwani melanda umat animalia, keduanya rajin berunding untuk berkolaborasi menemukan sebuah senandung malam yang baharu, yang lebih melenakan kalbu pendengarnya. Tapi, wahai, senandung seperti apakah itu?

Semesta kata, berjuta lema, segunung kalimat, memadat sesak di kepala hewan-hewan, minta diucapkan, tapi bagaimana mengucapkannya dengan baik dan benar? Ya, baik dan benar. Peristiwa aneh bisa berbahasa manusia ini rupanya turut mengubah watak binatang. Mereka memiliki nalar, sekarang. Binatang akhirnya tahu: baik belum tentu benar, benar bukan serta-merta baik.

Hal ini pulalah yang dirasakan Singa, raja abadi kaum binatang yang tak tergantikan. Pada sebuah malam yang teramat sumbang –sumbang oleh koor parau jangkrik dan burung hantu yang tak kunjung padu itu-- Raja Singa mengumpulkan elite-elite terbaiknya. Kepada mereka, Raja Singa menitahkan tugas rahasia. Yakni, langsung mempelajari bahasa manusia dari alam manusia sendiri.

***

SINGKAT cerita, para kesatria bangsa hewan berhasil merampungkan misi peradaban mereka. Syahdan sang raja tak hanya melatih dirinya dengan keras mempelajari bahasa manusia, namun juga menerbitkan kamus, hingga membuka madrasah budi bahasa.

Di madrasah budi bahasa ini, seperti biasa, Raja Singa berdiri anggun di atas tahta berupa sebongkah batu yang dingin dan kelabu. Ia kini bukan lagi sekadar wali, tapi juga munsyi. Di hadapannya para binatang dari pelbagai habitat dan tabiat, menyimak ilmu dengan tunak.

Suasana belajar-mengajar kian asyik-masyuk, karena sesekali disampaikan Raja Singa melalui tanya-jawab dengan kesatrianya. Dan, di telinga para murid, setiap tutur kata sang raja dan bala-kesatrianya itu bagaikan bunyi lonceng yang bergema, membahana, membakar gairah mereka untuk segera piawai berbahasa manusia.

Hingga suatu kali, terjadilah percakapan ini:

“Kesatriaku, Bung Kus, aku tahu kau yang terbaik, sebab sanggup menyusup ke rumah, ke gedung, jalan raya, dan kantor-kantor manusia demi mempelajari bahasa mereka.”

“Terimakasih, Tuan. Tuan terlampau berlebihan. Tuan-lah sebenar suri tauladan kami, raga bakti kami. Adakah yang hendak Tuan titahkan?”

“Hmmm, begini, aku benar-benar gusar menghadapi Cuaca Dunia yang makin tak menentu. Kadang mereka panas-beringas, kadang sejuk-menusuk. Sementara aku dan segenap menteri kabinetku hanya manusia biasa, nghnghngh…maksudku, binatang biasa, ah bukan, eeeh, akh sudahlah, kadang bahasa manusia ini menunjukkan sisi kelemahan kita sebagai hewan yang kuat. Maksudku begini, Bung Kus…”

“Baik, Tuan, baik, hamba sudah paham. Tuan gusar karena perubahan Iklim yang semakin ekstrim, menyebabkan rakyat Rimba Raya kesulitan berburu makanan. Tuan sudah melakukan segalanya; menerobos salju, menantang kerontang musim kemarau, membantu persediaan pangan kami. Tapi, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, sampai kapan ini harus terjadi, sampai kapan kita sanggup menahan diri untuk tidak saling memangsa sesama, naluri fitriah kita, sampai kapan…”

“Cukup, Bung Kus, cukup. Jangan kau lanjutkan. Jangan kau kotori bahasa manusia yang indah ini hanya untuk menyederhanakan kebinatangan kita. Kau terangkan saja kepada semua yang hadir di madrasah budi bahasa ini, kira-kira di alam manusia situasi yang kita hadapi sekarang mereka sebut apa?”

“Dalam bahasa rajanya atau bahasa rakyatnya, Tuan?”

Astaganaga, kemana lagi kini arah pembicaraanmu, Kesatria?”

“Maaf beribu maaf, Tuan. Khusus mengenai masalah semacam ini, manusia tak pernah satu bahasa. Di hutan belantara, tatkala Cuaca Maha Cuaca membuat kita krisis sumber makanan, solusinya hanya semudah memakan atau dimakan. Di padang-padang sabana, saat terik mentari memanggang kulit kita, alam yang bijak membentangkan dua pilihan. Jika tak ingin mati kelaparan, kurangi daya jelajah, menghemat tenaga. Kalau tak mau mati dicabik-cabik pemangsa, tingkatkan konsentrasi, naikkan kewaspadaan. Menyuruk, atau digaruk. Segampang itu, Tuan. Sedangkan manusia…”

“Hei, hei, aku mulai mendengar ada nada sinis dalam kalimatmu. Madrasah budi bahasa ini terlalu suci untuk itu. Astaganaga... --bahkan untuk beristighfar pun manusia menghormati kita dengan menyebut naga, binatang yang hanya ada dalam dongeng itu. Hargai mereka!”

“Maaf, Tuanku. Izinkan dulu hamba untuk menuntaskan apa yang sudah hamba mulai, Tuan. Bukankah itu salah satu sikap kesatria yang selalu Tuan tunjuk-ajarkan?”

Raja Singa kali ini tak berkata apa-apa. Tapi anggukan kepala dan kerling sepasang mata yang memancarkan sinar kharisma itu, cukuplah menjadi isyarat bagi sang Kesatria untuk melanjutkan pembicaraannya.

“Sedangkan manusia…? Manusia? He-he. Sedemikian lamanya hamba bermukim di lorong-lorong gelap kehidupan mereka, hamba menyimpulkan, bahwa manusia adalah makhluk paling membosankan. Mereka hanya sedikit beruntung karena Tuhan memberi mereka bahasa. Mereka hanyalah…”

Kesatria yang dipanggil Bung Kus oleh Raja Singa itu tiba-tiba terdiam. Begitu saja. Tubuhnya seperti kaku. Semua yang ada di madrasah budi bahasa ikut terdiam. Sebagian dari wajah mereka meneteskan keringat. Dalam keheningan yang menegangkan, suara sepasang benda yang bergesek tajam terdengar sangat nyaring. Kreekkk, kreekkk, grrrgggggh. Ternyata suara tersebut berasal dari kuku-kemuku runcing Raja Singa, yang tengah mencakar-cakar permukaan singgasana batunya.

“Hayo, lanjutkan,” ujar Raja, datar, seraya menggigit manja seruas kukunya, “aku merasa tanganku agak sedikit gatal saja mendengar kisahmu. Hayo, hayo, terus, aku menyimak dengan serius…”

Pfuuuhh.

“Baiklah, Tuan. Saya ingin mengatakan, justru karena dianugerahi bahasa, manusia gagap membaca isyarat alam. Mereka malah mencabik-cabik dirinya dengan marabahaya bahasa-bahasa baru yang mereka ciptakan sendiri. Di habitat manusia, krisis sumber kehidupan bukan semata-mata krisis sumber makanan seperti di dunia kita, tetapi juga bisa berarti krisis bahan bakar, krisis kepemimpinan, krisis kearifan, krisis politik. Muaranya adalah krisis bahasa.”

“Apakah raja dan rakyatnya bersatu menghadapi krisis bahasa manusianya itu?” tanya Raja Singa mulai bersemangat.

“Sayangnya tidak, Tuanku. Bahasa manusia yang ironinya sekarang sedang kita dalami, belum menunjukkan kekuatan apapun untuk menghadapi gejolak bahan bakar yang selalu terjadi dari rezim ke rezim. Pemimpinnya teguh menyebut pengurangan subsidi, masyarakatnya ngotot bersuara di jalan-jalan menyebut kenaikan harga BBM.”

“Siapa yang benar? Maksudku, siapa yang baik? Enghngh tunggu, tunggu. Maksudku, siapa yang baik dan benar? Pemimpin atau rakyatnya?

“Ah, seandainya manusia memiliki alat yang valid untuk mengukur itu, Tuan. Bahkan moral yang merupakan cerminan budi bahasa pun susah diukur kebenarannya kini. Dulu, partai oposisi lantang meneriakkan zalimnya moral pemimpin yang menaikkan harga BBM. Kini setelah mereka berkuasa, moral dengan kasus yang sama berubah artinya menjadi: beri pemimpin kesempatan, atau kalau mereka sedang badmood, menjadi: warisan kegagalan pemimpin lama.”

“Serapuh itukah bahasa manusia di dunia aslinya sendiri? Aneh sekali. Atau, jangan-jangan kau yang kurang objektif. Aku yakin di matamu rakyat yang menolak kenaikan harga itu yang benar.”

“Tentu tidak, Tuan. Toh menolak kenaikan harga BBM juga bukan lagi berarti menolak kenaikan harga dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 belaka. Menolak itu boleh diartikan sebagai bentuk menerima dengan trauma kolektif penolakan-penolakan: menolak pejabat korup, menolak subsidi tak tepat sasaran, menolak sistem yang tak cukup tangguh menghadang si kaya memborong minyak bersubsidi dengan mobil pelat merahnya, menolak si papa buang-buang energi demo ke jalan, padahal akan lebih baik jika ia memanfaatkan waktu untuk mengasah keterampilan, mengajak keluarganya berhemat, tidak konsumtif, menolak retorika provokatif politisi busuk, dan seterusnya.”

“Bingung, sumpah, aku mulai bingung. Raja harus dihormati posisinya, rakyat mesti dilindungi kenyamanannya. Bukankah ini hukum alam? Walaupun kita berada di dunia manusia, misalnya, hakikat jagat raya tetap meletakkan singa sebagai singa, Bung Kus sebagai Bung Kus.”

Ha-ha-haaa,” Bung Kus, yang rupanya aplikasi panggilan dari pelajaran bahasa egaliter raja singa kepada binatang tikus itu, sontak tak kuasa menahan gelak. Tubuh mungilnya terguncang-guncang. Mulut dan ekor tikusnya yang nyaris sama panjang mengilai ke sana-ke mari. “Kenapa kau tertawa?” hardik Raja Singa.

Ha-ha-ha. Ampun, Tuanku, ampun. Mohon Tuanku jangan sekali-kali bermimpi hidup penuh martabat di alam manusia. Ha-ha-ha. (Aduh, ya Tuhan, kenapa aku ini?). Ha-ha-ha. Maaf, Tuanku, di sana kita tak lebih dari sekadar majas pelampiasan sifat-sifat buruk mereka. Ha-ha. Hi-hiii. Di dunia manusia, maaf, hamba sedikit lebih terhormat dibanding Tuanku. Hamba masih dicaci dan dipuja sebagai tikus berdasi. Tapi, Tuanku, ha-ha-ha... (alamak, mati aku, mati aku) ha-ha-haaa…”

“Tapi aku apa, Tikus?

“Tidak, Tuanku, tidak akan mampu hamba mengatakan. Lebih baik hamba ngomong ke kambing saja bahwa dirinya selalu jadi kambing hitam di dunia manusia. Tetapi Tuanku…Tuanku teramat mulia untuk dijadikan istilah penyakit menular seksual. (Aduh, mati aku, kenapa aku ini) Ha-ha-haaa... (mampus aku,apakah aku baru saja menyebutnya?) Ha-he-haaa. Uogh.

“Apa kau bilang?” Craaaskkk! Kuku-kuku sang raja kembali menjejas cadas. Bala-kesateria yang lain, tanpa dikomando, telah terlatih memahami ekspresi raja yang seperti itu. Ya, ia tengah marah. Dan itu berarti siapapun yang membuat raja marah harus dihukum, meskipun pelakunya Kesateria Tikus, kompatriot mereka sendiri. Saat Tikus tampak mulai kewalahan dan sepasang mata tombak nyaris menikam jantungnya, Raja meloncat.

“Hentikan! Aku masih butuh dia.”

“Kenapa, Tuanku? Bukankah ia telah menghinamu dengan sebutan penyakit?” sela salah seorang kesateria.

“Biar, biarkan dia menjelaskan lebih dulu apa itu penyakit menular raja singa. Aku penasaran.”

Seluruh tubuh Kesateria Tikus kini menggigil basah dan bau pesing.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun