Hingga suatu kali, terjadilah percakapan ini:
“Kesatriaku, Bung Kus, aku tahu kau yang terbaik, sebab sanggup menyusup ke rumah, ke gedung, jalan raya, dan kantor-kantor manusia demi mempelajari bahasa mereka.”
“Terimakasih, Tuan. Tuan terlampau berlebihan. Tuan-lah sebenar suri tauladan kami, raga bakti kami. Adakah yang hendak Tuan titahkan?”
“Hmmm, begini, aku benar-benar gusar menghadapi Cuaca Dunia yang makin tak menentu. Kadang mereka panas-beringas, kadang sejuk-menusuk. Sementara aku dan segenap menteri kabinetku hanya manusia biasa, nghnghngh…maksudku, binatang biasa, ah bukan, eeeh, akh sudahlah, kadang bahasa manusia ini menunjukkan sisi kelemahan kita sebagai hewan yang kuat. Maksudku begini, Bung Kus…”
“Baik, Tuan, baik, hamba sudah paham. Tuan gusar karena perubahan Iklim yang semakin ekstrim, menyebabkan rakyat Rimba Raya kesulitan berburu makanan. Tuan sudah melakukan segalanya; menerobos salju, menantang kerontang musim kemarau, membantu persediaan pangan kami. Tapi, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, sampai kapan ini harus terjadi, sampai kapan kita sanggup menahan diri untuk tidak saling memangsa sesama, naluri fitriah kita, sampai kapan…”
“Cukup, Bung Kus, cukup. Jangan kau lanjutkan. Jangan kau kotori bahasa manusia yang indah ini hanya untuk menyederhanakan kebinatangan kita. Kau terangkan saja kepada semua yang hadir di madrasah budi bahasa ini, kira-kira di alam manusia situasi yang kita hadapi sekarang mereka sebut apa?”
“Dalam bahasa rajanya atau bahasa rakyatnya, Tuan?”
“Astaganaga, kemana lagi kini arah pembicaraanmu, Kesatria?”
“Maaf beribu maaf, Tuan. Khusus mengenai masalah semacam ini, manusia tak pernah satu bahasa. Di hutan belantara, tatkala Cuaca Maha Cuaca membuat kita krisis sumber makanan, solusinya hanya semudah memakan atau dimakan. Di padang-padang sabana, saat terik mentari memanggang kulit kita, alam yang bijak membentangkan dua pilihan. Jika tak ingin mati kelaparan, kurangi daya jelajah, menghemat tenaga. Kalau tak mau mati dicabik-cabik pemangsa, tingkatkan konsentrasi, naikkan kewaspadaan. Menyuruk, atau digaruk. Segampang itu, Tuan. Sedangkan manusia…”
“Hei, hei, aku mulai mendengar ada nada sinis dalam kalimatmu. Madrasah budi bahasa ini terlalu suci untuk itu. Astaganaga... --bahkan untuk beristighfar pun manusia menghormati kita dengan menyebut naga, binatang yang hanya ada dalam dongeng itu. Hargai mereka!”
“Maaf, Tuanku. Izinkan dulu hamba untuk menuntaskan apa yang sudah hamba mulai, Tuan. Bukankah itu salah satu sikap kesatria yang selalu Tuan tunjuk-ajarkan?”