Raja Singa kali ini tak berkata apa-apa. Tapi anggukan kepala dan kerling sepasang mata yang memancarkan sinar kharisma itu, cukuplah menjadi isyarat bagi sang Kesatria untuk melanjutkan pembicaraannya.
“Sedangkan manusia…? Manusia? He-he. Sedemikian lamanya hamba bermukim di lorong-lorong gelap kehidupan mereka, hamba menyimpulkan, bahwa manusia adalah makhluk paling membosankan. Mereka hanya sedikit beruntung karena Tuhan memberi mereka bahasa. Mereka hanyalah…”
Kesatria yang dipanggil Bung Kus oleh Raja Singa itu tiba-tiba terdiam. Begitu saja. Tubuhnya seperti kaku. Semua yang ada di madrasah budi bahasa ikut terdiam. Sebagian dari wajah mereka meneteskan keringat. Dalam keheningan yang menegangkan, suara sepasang benda yang bergesek tajam terdengar sangat nyaring. Kreekkk, kreekkk, grrrgggggh. Ternyata suara tersebut berasal dari kuku-kemuku runcing Raja Singa, yang tengah mencakar-cakar permukaan singgasana batunya.
“Hayo, lanjutkan,” ujar Raja, datar, seraya menggigit manja seruas kukunya, “aku merasa tanganku agak sedikit gatal saja mendengar kisahmu. Hayo, hayo, terus, aku menyimak dengan serius…”
Pfuuuhh.
“Baiklah, Tuan. Saya ingin mengatakan, justru karena dianugerahi bahasa, manusia gagap membaca isyarat alam. Mereka malah mencabik-cabik dirinya dengan marabahaya bahasa-bahasa baru yang mereka ciptakan sendiri. Di habitat manusia, krisis sumber kehidupan bukan semata-mata krisis sumber makanan seperti di dunia kita, tetapi juga bisa berarti krisis bahan bakar, krisis kepemimpinan, krisis kearifan, krisis politik. Muaranya adalah krisis bahasa.”
“Apakah raja dan rakyatnya bersatu menghadapi krisis bahasa manusianya itu?” tanya Raja Singa mulai bersemangat.
“Sayangnya tidak, Tuanku. Bahasa manusia yang ironinya sekarang sedang kita dalami, belum menunjukkan kekuatan apapun untuk menghadapi gejolak bahan bakar yang selalu terjadi dari rezim ke rezim. Pemimpinnya teguh menyebut pengurangan subsidi, masyarakatnya ngotot bersuara di jalan-jalan menyebut kenaikan harga BBM.”
“Siapa yang benar? Maksudku, siapa yang baik? Enghngh tunggu, tunggu. Maksudku, siapa yang baik dan benar? Pemimpin atau rakyatnya?
“Ah, seandainya manusia memiliki alat yang valid untuk mengukur itu, Tuan. Bahkan moral yang merupakan cerminan budi bahasa pun susah diukur kebenarannya kini. Dulu, partai oposisi lantang meneriakkan zalimnya moral pemimpin yang menaikkan harga BBM. Kini setelah mereka berkuasa, moral dengan kasus yang sama berubah artinya menjadi: beri pemimpin kesempatan, atau kalau mereka sedang badmood, menjadi: warisan kegagalan pemimpin lama.”
“Serapuh itukah bahasa manusia di dunia aslinya sendiri? Aneh sekali. Atau, jangan-jangan kau yang kurang objektif. Aku yakin di matamu rakyat yang menolak kenaikan harga itu yang benar.”