“Yakin lu si Lulavi mau sama si Berry? Kata si Berry, Lulavi udah jadi ustad.” Om Anto menghisap rokoknya dan menyandarkan punggungnya di sofa café.
“Lulavi kan anak gue. Dia pasti mau gue suruh-suruh.” Ayah meneguk kopi hitamnya.
“Kalau si Lulavi sampai enggak mau nikah sama si Berry, utang-utang lu bagaimana?” Om Anto kembali menegakkan badannya berusaha berbicara serius dengan Ayah.
“Gini aja deh, To. Mulai sekarang, kita berdua sama-sama mendekatkan Lulavi dengan Berry.”
“Itu tugas lu. Kan lu yang punya utang.”
Ayah terdiam. Ia kemudian menegak lagi kopi hitamnya untuk sejenak menghilangkan kepeningannya. Gawat ini kalau Lulavi sampai enggak mau menikah dengan Berry. Mau bayar utang ke Anto pakai apa coba? Pikir Ayah dalam hati.
“Eh ya, gini Vit, besok itu gue sama keluarga gue mau ngadain private party di rumah. Lu ajak deh keluarga lu termasuk si Lulavi. Nanti di sana lu bisa semakin mendekatkan Lulavi dengan Berry.”
***
“Aku enggak mau dipaksa datang ke pesta rumah Om Anto, apalagi harus melepas jilbab!” Lulavi menumpahkan semua air matanya.
“Kamu harus mau. Kamu kan belajar agama, coba kasih tahu Ayah, apa hukumnya membantah perintah orang tua?”
“Hukumnya dibolehkan selama perintah itu menjauhkan aku dari agama Allah.”