Mohon tunggu...
Ramdoni Subing
Ramdoni Subing Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bukan seorang partisan yang cenderung tunduk pada keonaran. Menyukai pluralisme. Mengapresiasi perbedaan dalam konteks penghargaan, buka tata bertingkat. Yakin bahwa "damai" adalah esensi yang dicari banyak manusia. Ada: 10 September 1977

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Man & Moon

12 Agustus 2013   19:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:23 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Namun Mitri lebih keras. "Ah, jangan menerka-nerka, Muna!" ia menghujamkan rokok ke asbak dengan muka memerah. "Pendapatmu hanyb berdasar keinginanmu, bukan berdasar pengetahuanmu. Lembaga pembiayaan itu bisnis resiko. Itu pekerjaan berbahaya. Kamu pikir aku tidak pernah memperhatikan anakku sendiri? Diam-diam aku melihat perubahan sikapnya. Dulu saat dia bekerja di dealer motor Fridas, Rien selalu ceria. Tapi sekarang dia bekerja pagi-siang-malam seperti keledai. Lembaga pembiayaan itu telah merenggut keceriaannya. Dia itu perempuan, Muna. Lihat, berapa kali aku pergoki di rumah ini dia berdebat sengit dengan temannya sendiri karena dipaksa menutupi tagihan macet. Kenapa para debitur yang macet angsurannya, anakmu yang ditagih? Perusahaan macam itu sudah aneh menurutku."

"Tugas Rien itu field survei, Puang. Mungkin sudah begitu peraturannya."

"Aku bukan sok tahu, Muna. Ada beberapa anak di sanggarku yang pernah kerja di tempat semacam itu. Jarang ada perempuan jadi field survei seperti Rien. Lagipula tugas field survei seperti Rien itu hanya menganalisa kelayakan konsumen yang mengajukan fasilitas kredit sepeda motor. Selama kerja Rien sesuai prosedur kantornya, tak ada aturannya field survei menutupi angsuran macet. Itu hanya akal-akalan perusahaannya. Itu hanya strategi survival kapitalis keuangan yang tak peduli aturan main bisnis resiko. Kenapa karyawan kecil yang selalu mereka tebas? Menyakitkan."

"Beri dulu anakmu kesempatan, Puang," bela Muna.

"Sampai kapan? Sampai dia frustasi dan gila? Atau sampai perusahaan itu mencari-cari dalih menjebloskannya ke penjara? Dulu waktu dia kerja di dealer Fridas tidaklah aku mencemaskannya seperti ini. Dulu aku sebenarnya sudah berdamai dan rela melihatnya bekerja di dealer Fridas karena aku lihat tak ada resiko berarti bila perempuan bekerja sebagai sales marketing seperti itu. Aku kecewa, aku kecewa sebenarnya. Entahkenapa setelah sekian tahun kerja dia keluar dari dealer itu. Aku tahu, dia keluar dari Fridas karena tergiur pindah ke perusahaan pembiayaan, ah, apa namanya, aku lupa...?"

"Vista Finance!"

"Ya, Vista Finance itu! Anakmu meninggalkan dealer Fridas karena tergiur gajinya, tergiur kerennya, tapi tidak dia pikir akibat-akibatnya. Padahal panasnya tempat itu kadang-kadang seperti neraka tak kenal damai. Itu murni dunia laki-laki. Di lingkungan kerja macam itu gampang sekali orang naik pitam dan lepas kendali karena tuntutan pekerjaannya. Kau mau anakmu tiba-tiba dipukul orang atau memukul orang? Kau mau anakmu tiba-tiba diperlakukan tidak senonoh? Sekali lagi aku ingatkan, dia itu perempuan. Setiap perempuan hanya cocok kerja di dapur atau duduk di belakang meja, menjadi penulis sepertiku!"

"Jangan berpikir sejauh itu, Puang," ingat Muna. "Rien tidak mungkin begitu. Rien itu pemberani. Dari pekerjaannya yang lalu dia sudah paham dunia lapangan seperti itu. Aku yakin apapun yang dihadapi Rien, dia bisa mengatasinya dengan cara-cara yang baik."

Bersamaan perempuan itu berucap, terdengar derit pintu kamar terbuka. Seorang gadis bertubuh tinggi, cantik, namun berkulit agak gelap, keluar dari kamar itu dan menuju belakang.

"Rien sudah bangun. Lain waktu saja kita membicarakannya lagi," kata Muna.

Mitri sempat juga melihat anaknya meninggalkan kamar. Sambil melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan, Mitri berujar: "Pendirianku tidak berubah. Aku ingin Rien menjadi penulis sepertiku, titik! Aku tunggu keseriusannya, sampai kapanpun."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun