Mohon tunggu...
Ramdoni Subing
Ramdoni Subing Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bukan seorang partisan yang cenderung tunduk pada keonaran. Menyukai pluralisme. Mengapresiasi perbedaan dalam konteks penghargaan, buka tata bertingkat. Yakin bahwa "damai" adalah esensi yang dicari banyak manusia. Ada: 10 September 1977

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Man & Moon

12 Agustus 2013   19:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:23 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PROLOG

Pagi masih diliputi semburat gelap. Sebagaimana hari dimulai, selubung aktifitas merekah sesaat setelah orang-orang mendengar azan Subuh. Panggilan muazin menyayat-nyayat layaknya cambuk langit menghardik jiwa-jiwa yang masih tenggelam di balik selimut, membuyarkan lena mimpi, menggetarkan sayap-sayap kegelapan. Pukul empat tigapuluh menit sayup-sayup azan berakhir di tempat jauh. Di sebuah kota di Selatan pulau Sumatera, angin subuh bergerak lagi dan bayang surya perlahan mengintip dari ufuk nun di sana. Kokok ayam belum berhenti bersahut-sahut. Seperti hari yang sudah-sudah, sergapan dingin pagi tak menghalangi dimulainya bunyi kehidupan berbagai-bagai, berbaur menjadi satu. Deru kereta batubara, hiruk pedagang yang berkeliaran bahkan sejak pukul dua, berisik televisi dan mesin kendaraan, orang bicara, denging pompa air, kicau burung, rengek bocah menangis, semua menghasilkan suara yang berlangsung serentak. Begitulah rutin bebunyian yang beranjak layak nyanyian tiada henti dan akan semakin ramai seiring fajar kian menerang dan jubah-jubah kelabu kegelapan benar-benar telah takluk oleh cahaya sang surya.

Bandar Lampung, begitulah nama kota yang dikitari lembah dan lautan itu, kota yang memikat dalam bayang-bayang perbukitan dan baris- gunung di Selatan Sumatera. Tebing-tebing tinggi yang membentang dari Timur ke Utara kota, menghadap langsung ke garis pantai pesisir teluk, tempat bermukim segala rupa manusia baik penduduk asli atau pendatang, mentakzimi gerak teratur roda kehidupan. Di Selatan kota, hutan-hutan nan jauh sebagian telah dibangun menjadi wilayah baru di mana pemukimnya kebanyakan bertani. Tetapi di tubir Selatan lebih dekat ke pusat kota, dekat laut, sepanjang teluk atau pesisir lebih banyak dimukimi dan digarap secara luas sebagian oleh nelayan dan sebagian oleh pedagang. Sementara bagian Utara dan Timur kota di daratan-daratan tinggi berbukit-bukit, sebagian besar pemukim berladang dan berternak dan sebagian ikut berdagang. Di antara semua, banyak pula para pegawai, buruh, pekerja-pekerja swasta, ikut menjadi pemandangan sehari-hari aktifitas warga kota.

Jam enam pagi, kota itu semakin terang. Kabut terakhir menyingkir, semua wajah dan denyut kehidupan tersingkap menampakkan citra perkotaan yang maju. Sepuluh tahun terakhir kota Bandar Lampung yang berjuluk Kota Tapis Berseri memang terus berpacu menata penampilan. Pengembangan dan pertumbuhan kota telah menampilkan dua wajah baru. Di wilayah Timur dan Utara yang didominasi perbukitan dan dataran-dataran tinggi, banyak gedung tinggi telah berdiri dan beberapa titik diproyeksi menjadi kawasan industri terpadu. Di wilayah Timur dan Utara tertata pula pemukiman-pemukiman penduduk dan kawasan-kawasan perumahan nan asri, saling menyela di antara jalan layang dan jalan raya yang saling terhubung satu sama lain. Di samping terus bertambahnya gedung dan pabrik-pabrik di wilayah ini, dibangun pula pusat-pusat perbelanjaan seperti mall dan swalayan, termasuk hotel-hotel serta sentra-sentra pertokoan. Bangunan-bangunan kokoh itu menjamur di mana-mana, berdiri anggun mengikuti aturan. Di antara semua itu, tiap sebentar di setiap jalan, aspal dibenam hingga menyentuh paritan-paritan, dan di tepi-tepi jalan mulus itu berjajar pohon-pohon akasia, beringin, bebera ceiba dan gaharu, saling berdampingan dengan baliho-baliho iklan yang mudah dikenali dan dibaca. Lalu di beberapa simpang jalan terdapat taman-taman dan tugu-tugu bertabur lampu dan bunga yang semakin menambah warna keindahan kota.

Sementara dalam pengembangan di wilayah Barat dan Selatan, penataan kawasan berdatar rendah yang dominan dengan tapak-tapak pesisir lebih banyak dibangun tempat-tempat pariwisata maritim dan zonasi bisnis. Aktifitas perekonomian masyarakat di wilayah pesisir dikenal sangat tinggi terutama di koridor-koridor penangkapan ikan. Wilayah ini diproyeksi pula sebagai kawasan pemukiman dan pergudangan. Banyak resort dan restoran, gudang-gudang pelabuhan, pemukiman City House, kanal-kanal wisata, pantai rekreasi, dan sentra-sentra pengepul ikan dioptimalkan di wilayah ini. Namun di wilayah Barat dan Selatan tak sedikit juga dibangun swalayan dan rumah-rumah pertokoan yang menghubung ke sentra-sentra bisnis-perdagangan di wilayah Timur dan Utara.

Bandar Lampung merupakan kota suround area yang sejarah perkembangannya berkali-kali mengalami perluasan, dan Tanjungkarang yang mendominasi wilayah Timur dan Utara serta Telukbetung yg mencakup wilayah Barat dan Selatan ditetapkan sebagai pusat pemerintahannya. Cikal bakal kota ini telah ada sejak zaman kolonial, disebut sebagai wilayah onder afdeling yang dibentuk berdasarkan staatblad 1912 yang dalam sejarahnya berkedudukan sebagai ibukota Keresidenan Lampung. Pada zaman pendudukan Jepang, wilayah onder afdeling ditetapkan menjadi Si atau kota. Setelah melewati beberapa dekade pengembangan, ditetapkanlah Bandar Lampung sebagai satu kesatuan kota yang mencakup suround area di sekitarnya dan kota ini ditetapkan juga sebagai ibukota Propinsi Lampung.

***

Jam tujuh matahari merayap naik. Di sebuah rumah di pemukiman Citra Garden yang berada di dataran tinggi Utara kota, cahaya silau emas sang surya menerpa masuk, berkilau-kilau di dinding dan lantai, menyorot wajah penghuninya, seorang laki-laki paruh baya. Meski bersiap pergi dan bau parfumnya sudah semerbak, lelaki itu masih duduk berkutat di meja kerja tempat ia menumpuk beragam buku, lembaran kertas, dan berbundel-bundel tulisan. Di situ, Mitri, begitulah namanya, telah menghabiskan dua batang rokok. Kopi hangat di depannya sudah separuh terminum. Lelaki usia empat puluhan dan berkacamata tebal itu terpaku membaca koran minggu yang terbit kemarin. Matanya terpaku di halaman yang itu-itu juga, membaca berulang-ulang dengan raut muram. Tubuhnya tegak di sandaran kursi, berpikir-pikir sambil membaca. Banyak hal mengaduk kepalanya berkait isi koran yang ia pikirkan.

Langkah pelan Muna, istrinya, muncul sayup dari belakang. Wanita itu mendekat tanpa canggung. Ia menumpahkan perhatian sambil memandang wajah Mitri. Lalu katanya, "Mengapa selalu jadi masalah, Puang?" Muna tahu lagi-lagi pasti si Rien, anak mereka, yang membebani pikiran Mitri.

"Masalahnya aku sejak lama sudah mengajarinya menulis. Aku tak pernah putus asa memberinya pemahaman tentang pilihan hidup yang menurutku akan baik jika digelutinya sekarang. Seharusnya dia berkaca padaku dan bisa lebih baik dari aku. Seharusnya dia jangan berhenti menulis. Aku kecewa melihat karangan-karangannya. Ia hanya menulis sekenanya, semau-mau, seperti terpaksa hanya untuk menyenangkan aku. Satupun tulisannya tak ada yang dimuat koran. Entah kapan dia mau sungguh-sungguh!" sambil mengucapkan kata-kata itu, Mitri melipat koran dan meletakkannya di meja.

"Jangan menyimpulkan begitu, Puang. Apapun penilaianmu aku tetap tak menyalahkannya. Rien sudah berusaha wajar memenuhi kehendakmu sekalipun dia harus membagi waktu dengan pekerjaannya sekarang. Bersyukur saja, kadang-kadang masih mau dia menulis."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun