“Sarapan dulu, Ti. Sedikit saja!”
“Nanti lagi, Bu. Sarapannya di sekolah saja.”
“Ini buktinya! Ngakunya nggak pacaran, tapi jajan ditraktirin, pulang dianter …,” lagi sela Sukardi.
“Iya …! Pulsa juga diisiin. Mana mau Bapak ngasih duit buat beli pulsa!”
“Pulsamu itu dipake cuma buat pacaran. Mana mau Bapak kasih kamu duit buat beli pulsa!”
“Asti nggak pacaran!”
“Heh, asal tahu ya, Bapak kenal sama bapaknya si Olan itu. Kalian itu nggak seiman! Kamu jangan asal nerima pemberiannya, nanti kamu merasa punya hutang budi.”
“Asti juga tahu bapaknya Olan suka ke kecamatan ngurusin proyeknya. Pasti Bapak dapet duit juga dari bapaknya Olan. Padahal kita nggak seiman. Bapak pasti juga merasa berhutang budi.”
“Lihat itu, Bu! Pinternya anak zaman sekarang ya seperti ini. Pinter melawan! Mau jadi seperti si Aris, kau?”
“Lebih baik jadi seperti Bang Aris daripada seperti Bapak!”
“Heh, sudah hebat berdebat kau? Kau mau juga seperti dia hidup nggak jelas, nggak punya tujuan. ”