Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pada Sebuah Pagi

1 Agustus 2013   15:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13753695301775338019

“Tujuan Bang Aris jelas, pengen jadi dirinya sendiri ....”

“Oh, begitu dia bilang? Kalau dia sudah bisa cari makan dari otak dan keringatnya sendiri, dia bisa bebas menjadi seperti yang dia mau. Tapi selama dia masih makan dari beras yang Bapak beli, dari nasi yang Ibu masak, maka dia masih harus ngikutin tujuan dan cara hidup keluarga ini. Tidak bisa seenaknya. Dan itu juga berlaku buat kau!”

Sukardi panas. Senyap turun. Dengus napas berburu satu-satu. Di antara tubuh-tubuh yang berdiri itu, hanya tubuh Karsinah yang masih terlihat bereaksi wajar. Kecuali dua deheman yang terlanjur terlontar. Itu pun pasti tak kan terdengar. Dia masih tetap merasa damai dengan gundukan nasi putih dalam magic com yang masih mengepul-ngepulkan uapnya. Separah apapun pertengkaran ini berujung, Karsinah tetap memiliki keyakinan, kehidupan hari ini tak akan mati. Termasuk saat suara bingar tiba-tiba menyeruak dari belakang kamar. Tubuh Aris muncul memikul ransel yang dia jatuhkan dekat rak sepatu. Mencomot sepasang lars kusam tanpa lagi perlu dibersihkan. Hening ini dia pecahkan begitu saja. Seolah pagi belum cukup hancur tanpa celotehnya.

“Ya ...! Yang paling brengsek di rumah ini memang si Aris. Anak yang tak berguna, tidak tahu terima kasih, tidak bisa bertanggung jawab. Pengangguran, pecundang, dan selalu memalukan keluarga. Kau bisa tambahkan lainnya lagi sendiri, Ti! Atau tanya Bapak kalau kau mau."

"Hei! Bicara apa kau? Nggak perlu kau sindir Bapak kalau kau sudah merasa hebat. Bicara langsung ... lawan Bapakmu ini!"

"Buat apa, Pak. Tho Bapak yang selalu menang. Lagipula saya takut kualat, Pak. Takut anak saya nanti jadi kurang ajar. Berpikir dan berprasangka buruk pada bapaknya. Saya nggak mau menghasilkan generasi anak-anak brengsek."

"Anak kurang ajar! Mabuk apa kau semalem? Kemasukan setan mana kau?"

"Saya waras, Pak! Sangat waras. Seluruh isi rumah ini semua waras. Lihat saja Asti yang lebih sering mengeram di kamar. Lihat ibu yang melulu berkutat pada dapur, pada beras dan nasi yang mesti disajikan. Lihat saya yang sudah bisa seenaknya melawan Bapak, merasa hebat tanpa pernah rasa bersalah. Apa Bapak tidak melihat kita semua waras?"

Pada pagi yang berubah bara, Karsinah menyelipkan pada batinnya sebuah ketenangan yang pura-pura. Dia wujudkan itu dengan hembusan napas-napas yang tersengal. Mencoba kembali meyakinkan bila ini hanya sebuah pagi yang lain. Benar! Ini akan menjadi pagi yang lain. Potongan masa menuju siang, senja, malam, dan kembali bertemu pagi selanjutnya. Kesadaran itu begitu merasuki Karsinah. Hingga dia tak merasakan pertengkaran antara suami dan anaknya itu telah berada pada puncaknya. Karsinah tak ingat bagaimana Sukardi mengakhiri itu semua dengan caci maki. Dia tak ingat bagaimana dengan kesalnya, Asti berlalu dari rumah tanpa kata-kata. Dia pun lupa bagaimana Aris membisikkan maaf dan pamit untuk sebuah kota yang diucapkannnya, atau punggung telapaknya yang dicium teramat lama. Pagi hening ini telah kembali, merengkuh Karsinah dalam sendiri. Saat di mana Karsinah mulai bisa sumringah. Dirapikan barisan lima potong tempe dan tiga buah telur ceplok dalam pinggan. Dipastikan kembali isi magic com. Didapati setangkup nasi hangat yang tak berkurang sebutir pun. Bersyukurlah dia. Di antara segala kekacauan ini, kehidupan keluarganya tak pernah mati. Tak kan pernah bisa mati.

***** Cirebon, 1 Agustus 2013 hampir setahun tidak menulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun