Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Cinta antara Tomcat dan Taman Baca Mahanani

31 Maret 2012   07:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13331798261776770899

Ada Cinta antara Tomcat dan Taman Baca Mahanani

Oleh: Ramdhani Nur

[caption id="attachment_179406" align="aligncenter" width="300" caption=""][/caption]


“Cieeeh …!”

Itu koor memang berasal dari anak-anak yang baru pulang sekolah. Berpapasan dengan seorang lelaki kurus ketika hendak keluar dari ruang Taman Baca Mahanani. Perlente. Bahkan rambut gondrong yang menjelaskan kepribadiannya yang bebas, sudah dia tebas. Kemeja flannel masa sekolahnya hampir sepuluh tahun lalu tetap tampak rapi saat dimasukkan ke dalam celana jins yang kali ini mulus disetrika. Sepatu kets (yang sesungguhnya) berwarna putih, dipaksakan masuk pada sepasang kaki hitamnya. Terasa agak sempit, terutama karena kaus kaki pink sudah pula diselubungkannya. Kaca mata hitam …. Nah, ini yang tidak ada. Padahal sebelum-sebelumnya, jika ada keperluan pribadi matanya itu tak pernah lepas dari lensa gelap palsu. Bukan karena kepingin bergaya, tapi dengan cara itu dia selalu berhasil melirik setiap perempuan tanpa perlu menuai kecurigaan. Pasti kali ini keperluannya sangat serius. Anak-anak yang bergerombol hendak masuk ke ruang Taman Baca Mahanani pun pasti berpikir begitu.

“Mau ngapel, Om?” celetuk Husen murid kelas lima.

“Hush!” balas yang disapa. Kibasan pada kemejanya mengakhiri prosesi pengecekan kesempurnaan tampilannya sebelum dia benar-benar beranjak ke luar ruang.

Ngapel kok siang-siang?” tambah Niken teman sekelas Husen.

“Anak kecil mau tau aja urusan orang tua,” sulut lelaki perlente itu. “Emang kalo tampil rapi begini mesti mau pergi ngapel? Ndak mesti tho! ”

“Urusan orang tua itu rahasia!” tambah si kecil Pingkan.

“Nah, pinter kamu! Pasti kamu banyak baca, ya?”

“Bukan, bapak saya yang bilang begitu.”

“Oalah, bapakmu yang pinter kalo gitu. Sana masuk, pada baca!”

Percakapan usai. Anak-anak segera masuk ke ruangan, sementara lelaki kurus itu beranjak menuju kendaraan yang terparkir di halaman depan. Sudah kinclong. Mengkilat sana-sini, hasil cucian tadi pagi. Entah bermaksud untuk mengusir debu atau memastikan keempukannya, jok depannya dia tepuk-tepuk berkali-kali. Lalu terseyum. Entah apa hubungannya antara keempukan jok dan senyumannya itu. Sepertinya itu jadi tanda awal sebuah keyakinan. Bahwa rencana yang sudah dia susun sebelum tidur semalam—setelah segelas susu habis ditenggak lima menit lewat dari jam satu malam—pasti bakal berjalan sukses. Jika agak meleset sedikit, dia pun sudah menyiapkan plan B yang dia susun dua jam setelah dia bangun. Dan sudah dia combine kedua rencana itu matang-matang dalam pikirannya setengah jam sebelum dia mandi pagi siang tadi, agar berjalan mulus dan terpadu. Intinya, dia sudah benar-benar siap. Lalu, tanpa perlu memanaskan lagi dia mengongkang pada jok belakang, mulai mengayuh becaknya dengan saksama. Kali ini tanpa buku-buku dan pengeras suara.

Semua orang desa sini tentu mengenalnya. Naim Ali, lelaki yang sering membuat keributan di seputar wilayah sini dengan corong suara dan bunyi-bunyian untuk memprovokasi masyarakat agar mengerubuti becaknya yang berisi buku-buku untuk dipinjamkan secara gratis. Meski belum dianggap pahlawan setelah membawa harum nama desanya di tivi-tivi berkat aktivitasnya itu, tapi masyarakat kadung mengagumi sosok lelaki yang saharja ini. Tak pelak beberapa gadis yang mengaku-ngaku kembang desa sering terlihat nempel bersamanya. Tapi hati Naim telah terpaut pada pemilik hati lain. Asnawiyah. Teman kecilnya yang kini sudah kuliah di luar kota. Dua atau tiga kali sebulan dia selalu pulang. Bertemu keluarga dan kerabat. Seperti kali ini, kesempatan itu tak disiakan Naim.


***

“Gombal kamu!”

Itu suara Asna.

Tangan Naim masih menengadah menggenggam supucuk kembang yang dia pungut sembarang dari halaman rumah pamannya. Kembang yang merah menyala. Entah kembang apa. Dia mulai menyangsikan pesan pamannya: jika bunga warna merah itu tanda sejatinya cinta, wanita manapun pasti akan takluk menerimanya. Buktinya, perempuan di hadapannya itu hanya memandangnya tak acuh.

“Diterima, tho!” paksa Naim.

“Bunga dari kebunnya, Lek Sarjo? Aku sudah punya pohonnya.”

“Ya, ndak mesti begitu …. Ini kan tanda sayang ….”

“Tanda sayang apa? Tanda sayang itu kalau kamu nggak lupa balas SMS, atau sekali-sekali nanya kabar keluarga atau kuliahku. Itu sudah cukup. Nggak mesti pake bunga-bunga-an.”

Naim cengengesan. Menderetkan giginya bagai barisan anak sekolah yang teratur masuk kelas.
Pasrah. Kembang merah itu dia selipkan di telinganya sendiri meniru ronce ondel-ondel. Tubuhnya lalu merapat pada batang pohon akasia, kemudian pantatnya terjerambab turun. Perempuan itu melirik sekejap pada wajah lelaki berkembang ronce itu. Gumamannya terlepas lemah, “gilani ….”

Naim terkekeh, “ya …, dan kamulah yang selama ini membuatku gila!”

Lebay!”

Tawa Naim bertambah dua kali lipat, kemudian senyap. Gesekan batang padi yang riuh dibelai angin datang mengganti. Terus menyusur sampai menerpa tubuhnya yang berpunggung pada batang akasia. Pohon akasia itu—selain sebagai tempat berteduh becak kesayangannya, sebenarnya dimaksudkan untuk menjadi sebuah titik janji. Sebagai pembeda dengan lokasi lain yang memiliki tambahan pemandangan sawah dan aliran air irigasi yang jernih. Ini tempat memang lumayan senyap. Dipilihkan Naim untuk mengenang kebiasaanya saat bersama memandikan kambing-kambing milik ayah Asna. Mengulang romantisme lama. Kali saja kejadian masa kecilnya kembali menjelma. Karena kaget dipelototi katak yang siap melompat, Asna kecil sigap memeluk tubuh Naim hendak mencari perlindungan. Lalu dia menghalaunya dengan gagah berani. Beruntung sekali kalau sampai itu terulang lagi. Akan menjadi rekor terbarunya. Selama ini sebandel-bandelnya Naim, lelaki lulusan pesantren itu cuma berani mencuri elusan pada jemari Asna. Itu pun dilakukannya pada saat mau menyeberang.
Sayangnya harapan itu belum akan terjadi, tubuh Asna tak lagi bergeming di sisinya. Badannya beranjak, membungkuk-bungkuk mendekati pucuk-pucuk padi. Ada yang dia amati dalam-dalam. Selalu saja ketika sesuatu terbang dari pandanganya, napasnya terhela menghentak.

“Jadi itu tugas kuliahmu? Nangkepi tomcat?” seloroh Naim pelan. Asna tetap pada tatapan di hadapannya.

“Aku nggak lagi nangkepi tomcat. Belum jelas terindikasi di sini kok. Lagian nggak bisa seenaknya asal nangkep. Mesti pake perangkap.”

“Susah, ya. Mending nangkep kamu ndak mesti pake perangkap.”

“Gombal lagi …!”

Naim cengengesan lagi. Kali ini tubuhnya beranjak ikut berdiri bersisian. Ujung-ujung biji padi yang bergoyang-goyang tampak terhampar luas di depan. Membentur beberapa lelaki penggarap sawah yang hendak istirahat di saung-saung kecil beratap pelapah kelapa. Naim seperti akan berbicara serius ketika mulutnya mengeluarkan deheman tiga kali. Telapak tangannya dielus berulang pada permukaan paha kakinya sendiri.

“Hmm, kita ini sebenernya pacaran ndak, sih?”

Asna melirik sisi wajah Naim. Sedetik saja lalu pandangannya kembali dilemparkan pada pematang. “Nggak tau, nggak ada yang pernah ngajak aku pacaran.”

“Tapi aku tresno sama kamu, Na.”

Mulut Asna tercekat. Sebenarnya dia akan mingkem ketika ucapan Naim itu terlontar. Tapi tak jadi. Kini mulutnya malah jadi terlihat menganga lebar.

“SetelahTaman Baca-ku, tak ada yang kupikirkan lagi selain kamu. Euh, anu … maksudnya kamu dan Taman Baca-ku sama-sama menempati hal terpenting dalam hidupku. Kalau dengan Taman Baca itu aku merasa bisa menerangi siapapun orang merasakan manfaat karenanya, maka dengan memilikimu, kamulah sesungguhnya yang menerangi hatiku.”

Harusnya ini romantis. Naim pun mengungkapkannya dengan dada yang penuh getar. Apalagi terlihat gadis di sampingnya hanya mampu menunduk tajam, setengah melumat bibirnya sendiri. Tapi Naim tetap canggung. Khawatir Asna hanya akan membalasnya dengan mantra saktinya tiap kali dia mulai berbicara romantis. “GOMBAL!”. Begitu. Dianggapnya dia hanya meniru-niru gaya merayu gombal di tivi-tivi.

“Hmmm … kamu mau jadi perempuan yang menerangi hatiku?”

Asna diam.

“Mau ndak?”

Apaan sih ….”

“Mau jadi pacarku?”

Asna kembali diam, bukan untuk membantah atas apa yang ikut bergulat di dadanya. Dia tahu situasi ini akan dia alami. Dia sudah mempersiapkan jawabannya jauh-jauh hari sebelumnya. Lalu secara sadar kepalanya ditenggakkan, kemudian jatuh sebagai tanda persetujuan.

Nek ngomong tho! Mau ndak?”

“… mau.”

Yesss!”

Ah, tak perlu digambarkan lagi bagaimana reaksi seorang lelaki ketika cintanya bersambut. Semua rasa seperti baru saja pecah lepas. Tubuh seakan selalu ingin melonjak girang. Keringat mengucur deras atau lupa menghela napas. Khusus untuk kasus Naim, bisa ditambahkan dengan seringnya dia menggaruk-garuk bagian selangkangannya yang tak gatal. Apapun itu, ternyata semua rencananya yang dia bangun semalaman itu sukses besar. Dia merasa mendapatkan tambahan motivasi untuk mewarnai hidupnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan berbagi pengetahuan dan kebahagian berbagi cinta.

Gilani …!” seru Asna lemah saat masih melihat tubuh Naim yang melonjak-lonjak. Beberapa serangga ikut juga terbang dari batang padi ketika kehebohan itu tercipta. Salah satunya melompat pada bahu Asna. “Apa ini?”

Naim terdiam. Dipandangi hewan kecil yang bersandar di bahu Asna.

Diem. Jangan bergerak, Na!”

“Apa iniiii???” teriak Asna penuh khawatir.

“Ndak apa-apa, cuma serangga kecil. Hitam merah … “

“Aaah, tomcaaat …!” teriakan Asna makin menjadi. Kini giliran Asna berjikrak-jingkrak sebelum tubuhnya sigap memeluk tubuh Naim sebagai upaya mendapatkan perlindungan. Seperti ketiban durian emas Naim senang saja menyilakan tubuhnya didekap erat dengan sukarela.

“Cieeeh…!”

Itu koor memang berasal dari anak-anak yang semestinya sedang sibuk membaca di Taman Baca Mahanani. Penulis sengaja menghadirkan mereka di sini, agar situasi yang kian memanas pada kedua tokoh itu tak berlanjut ke arah perbuatan mesum atau porno. Mosok di depan anak-anak mereka berani berbuat aneh-aneh.



*** Cirebon, 31 Maret 2012
Kisah ini adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama dan tempat itu cuma kejahilan penulisnya saja. Kisah ini seharusnya terinspirasi dari salah satu lagu karya Iwan Fals. Kira-kira yang mana, ya? Silakan berikan jawaban Anda di kolom komentar. Terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun