“Ya, ndak mesti begitu …. Ini kan tanda sayang ….”
“Tanda sayang apa? Tanda sayang itu kalau kamu nggak lupa balas SMS, atau sekali-sekali nanya kabar keluarga atau kuliahku. Itu sudah cukup. Nggak mesti pake bunga-bunga-an.”
Naim cengengesan. Menderetkan giginya bagai barisan anak sekolah yang teratur masuk kelas.
Pasrah. Kembang merah itu dia selipkan di telinganya sendiri meniru ronce ondel-ondel. Tubuhnya lalu merapat pada batang pohon akasia, kemudian pantatnya terjerambab turun. Perempuan itu melirik sekejap pada wajah lelaki berkembang ronce itu. Gumamannya terlepas lemah, “gilani ….”
Naim terkekeh, “ya …, dan kamulah yang selama ini membuatku gila!”
“Lebay!”
Tawa Naim bertambah dua kali lipat, kemudian senyap. Gesekan batang padi yang riuh dibelai angin datang mengganti. Terus menyusur sampai menerpa tubuhnya yang berpunggung pada batang akasia. Pohon akasia itu—selain sebagai tempat berteduh becak kesayangannya, sebenarnya dimaksudkan untuk menjadi sebuah titik janji. Sebagai pembeda dengan lokasi lain yang memiliki tambahan pemandangan sawah dan aliran air irigasi yang jernih. Ini tempat memang lumayan senyap. Dipilihkan Naim untuk mengenang kebiasaanya saat bersama memandikan kambing-kambing milik ayah Asna. Mengulang romantisme lama. Kali saja kejadian masa kecilnya kembali menjelma. Karena kaget dipelototi katak yang siap melompat, Asna kecil sigap memeluk tubuh Naim hendak mencari perlindungan. Lalu dia menghalaunya dengan gagah berani. Beruntung sekali kalau sampai itu terulang lagi. Akan menjadi rekor terbarunya. Selama ini sebandel-bandelnya Naim, lelaki lulusan pesantren itu cuma berani mencuri elusan pada jemari Asna. Itu pun dilakukannya pada saat mau menyeberang.
Sayangnya harapan itu belum akan terjadi, tubuh Asna tak lagi bergeming di sisinya. Badannya beranjak, membungkuk-bungkuk mendekati pucuk-pucuk padi. Ada yang dia amati dalam-dalam. Selalu saja ketika sesuatu terbang dari pandanganya, napasnya terhela menghentak.
“Jadi itu tugas kuliahmu? Nangkepi tomcat?” seloroh Naim pelan. Asna tetap pada tatapan di hadapannya.
“Aku nggak lagi nangkepi tomcat. Belum jelas terindikasi di sini kok. Lagian nggak bisa seenaknya asal nangkep. Mesti pake perangkap.”
“Susah, ya. Mending nangkep kamu ndak mesti pake perangkap.”
“Gombal lagi …!”
Naim cengengesan lagi. Kali ini tubuhnya beranjak ikut berdiri bersisian. Ujung-ujung biji padi yang bergoyang-goyang tampak terhampar luas di depan. Membentur beberapa lelaki penggarap sawah yang hendak istirahat di saung-saung kecil beratap pelapah kelapa. Naim seperti akan berbicara serius ketika mulutnya mengeluarkan deheman tiga kali. Telapak tangannya dielus berulang pada permukaan paha kakinya sendiri.