“Nah, pinter kamu! Pasti kamu banyak baca, ya?”
“Bukan, bapak saya yang bilang begitu.”
“Oalah, bapakmu yang pinter kalo gitu. Sana masuk, pada baca!”
Percakapan usai. Anak-anak segera masuk ke ruangan, sementara lelaki kurus itu beranjak menuju kendaraan yang terparkir di halaman depan. Sudah kinclong. Mengkilat sana-sini, hasil cucian tadi pagi. Entah bermaksud untuk mengusir debu atau memastikan keempukannya, jok depannya dia tepuk-tepuk berkali-kali. Lalu terseyum. Entah apa hubungannya antara keempukan jok dan senyumannya itu. Sepertinya itu jadi tanda awal sebuah keyakinan. Bahwa rencana yang sudah dia susun sebelum tidur semalam—setelah segelas susu habis ditenggak lima menit lewat dari jam satu malam—pasti bakal berjalan sukses. Jika agak meleset sedikit, dia pun sudah menyiapkan plan B yang dia susun dua jam setelah dia bangun. Dan sudah dia combine kedua rencana itu matang-matang dalam pikirannya setengah jam sebelum dia mandi pagi siang tadi, agar berjalan mulus dan terpadu. Intinya, dia sudah benar-benar siap. Lalu, tanpa perlu memanaskan lagi dia mengongkang pada jok belakang, mulai mengayuh becaknya dengan saksama. Kali ini tanpa buku-buku dan pengeras suara.
Semua orang desa sini tentu mengenalnya. Naim Ali, lelaki yang sering membuat keributan di seputar wilayah sini dengan corong suara dan bunyi-bunyian untuk memprovokasi masyarakat agar mengerubuti becaknya yang berisi buku-buku untuk dipinjamkan secara gratis. Meski belum dianggap pahlawan setelah membawa harum nama desanya di tivi-tivi berkat aktivitasnya itu, tapi masyarakat kadung mengagumi sosok lelaki yang saharja ini. Tak pelak beberapa gadis yang mengaku-ngaku kembang desa sering terlihat nempel bersamanya. Tapi hati Naim telah terpaut pada pemilik hati lain. Asnawiyah. Teman kecilnya yang kini sudah kuliah di luar kota. Dua atau tiga kali sebulan dia selalu pulang. Bertemu keluarga dan kerabat. Seperti kali ini, kesempatan itu tak disiakan Naim.
***
“Gombal kamu!”
Itu suara Asna.
Tangan Naim masih menengadah menggenggam supucuk kembang yang dia pungut sembarang dari halaman rumah pamannya. Kembang yang merah menyala. Entah kembang apa. Dia mulai menyangsikan pesan pamannya: jika bunga warna merah itu tanda sejatinya cinta, wanita manapun pasti akan takluk menerimanya. Buktinya, perempuan di hadapannya itu hanya memandangnya tak acuh.
“Diterima, tho!” paksa Naim.
“Bunga dari kebunnya, Lek Sarjo? Aku sudah punya pohonnya.”