“Nggak apa-apa, Ris. Aku bisa cari kerja di tempat lain.”
Itu percakapanku dengan Aris pemilik kios servis HP sebelum kuputuskan melangkah pulang. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Sekilo duku Palembang aku jinjing sebagai alat untuk menipu kenyataan bahwa di rumah, kami masih bisa tersenyum bahkan tertawa-tawa menanggapi nasib yang baru akan aku ceritakan kemudian. Aku tak boleh membuat mereka bersedih. Oleh-oleh, apapun bentuknya, selalu jadi cara ampuh menghidupkan keceriaan. Terutama bagi Habib, anak tertua kami. Lelaki kecil itu selalu menyambut apa-apa yang ada dalam genggamanku.
“Dukuuu…!” begitulah teriakannya.
Lalu dia bawa ke tengah kamar yang juga menjadi tempat makan dan tidur kami. Sementara Jibril kecil masih merangkak-rangkak memunguti butir-butir duku yang menggelinding dari kantong plastik. Ibunya selalu mengawasi, khawatir anak itu akan menelannya bulat-bulat. Istriku itu selalu waspada, meski perutnya kini harus dibebani lagi calon bayi yang sudah masuk bulan ke enam.
“Tumben bawa oleh-oleh?” tanya istriku sambil menyuapi potongan duku ke dalam mulut Jibril.
“Kebetulan aja ada rejeki.”
Aku beranjak ke meja kecil dekat bilik yang kujadikan dapur, segelas teh dengan tatakannya sudah tersaji. Tentu tanpa gula. Mataku mencuri pandang pada tudung saji yang menutup semangkuk nasi putih dan beberapa potong tempe goreng. Melihat jumlahnya mereka pasti sudah makan terlebih dahulu, entahlah kalau istriku. Dia kerap kali berbohong agar dia tak menghabiskan jatah makan soreku. Sekalinya ketahuan, aku pernah marah besar. Dia sedang hamil, dia lebih butuh makan daripada aku. Aku boleh kelaparan, tapi tidak dengannya dan calon anak kami. Entahlah, apakah dia sudah mencamkan itu sekarang.
Kudapati perempuan itu tengah memangku Jibril yang mulai mengantuk. Sesaat lagi mungkin akan terlelap. Habib bersandar pada sisi bahunya. Mengunyah dan memisahkan biji duku dalam kulumannya. Ada tarikan napas yang ingin kuhembus kuat-kuat melihat ini. Dengan keterbatasan ini kupikir mereka sudah bisa hidup cukup bahagia. Entah apa aku masih sanggup mempertahankan itu dengan kondisi terbaruku.
“Ba, Habib TK-nya sama Oji aja, ya?”
“TK Oji jauh, Sayang,” timpal ibunya.
“Iya, tapi kata Oji, TK Oji bagus. Banyak tempat mainannya.”