Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Terhukum

28 September 2011   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Silakan buka mata, kamu tak akan leluasa melihat apa-apa."

Tak sampai sepuluh detik gertakan itu menghilang, suara gebrakan pintu menyusul menghentak telinga. Kemudian hening. Saya tak bisa melihat apa-apa. sukar sekali membuka kain penutup mata dengan tangan terikat di belakang punggung. Tarikan nafas panjang saya tak menyadarkan apapun atas segala yang terjadi sampai saya tersudut di ruangan ini. Sama sekali tak bisa dimengerti. Otak yang saya paksa mengingat keras-keras, hanya berujung pada situasi pada malam sebelum tidur. Saya hanya ingat saat memadamkan lampu kamar dan menarik selimut lalu segera tertidur. Itu saja. Kemudian segalanya berubah menjadi seperti ini.

“Hei, yang di sana!”

Ah, siapa itu? Suaranya seperti datang dari arah kiri belakangku. Laki-laki kupikir. Ternyata aku tak sendiri di sini.

“Hei, menyahutlah!”

“Ya…” Ah, keluar juga suara parau saya.

“Kau korban juga ya?”

Saya tak begitu mengerti dengan kata korban yang dia maksud, bisa jadi iya. Sepertinya dia lebih tahu dari saya. “Mungkin. Anda siapa?”

“Bergeserlah kemari, biar kubukakan ikat matamu!”

Saya menurut saja. Kaki saya sebenarnya juga terikat, namun tak seketat yang menjalin di lengan. Itu sebabnya saya lebih leluasa menyeret pantat saya mengarah ke kebelakang. Tak sampai tiga meter sepertinya, kaki saya tiba-tiba menyentuh tubuh lain.

“Cukup di situ!”

Perintahnya membuat saya berhenti bergerak. Saya merasa ada jemari yang menjulur pada wajah saya, kasar dan bergetar. Entah apa yang dia lakukan tapi perlahan ikat penutup mata itu lepas dari kepala saya.

“Buka matamu pelan-pelan!”

Ada sesuatu yang menusuk ketika sedikit demi sedikit cahaya terbentuk di pelupuk mata saya. Saat sudah terbuka lebar, baru kusadari ternyata ruangan ini sama remangnya dibanding saat mata saya tertutup ikatan tadi. Tapi sorot mata saya langsung bisa menemukan wajah lelaki di hadapan saya.

"Terima kasih,” entah bagaimana ini bisa terjadi, tapi sepertinya kami memiliki keheranan yang sama saat mata kami menemukan wajah di hadapan kami masing-masing. Seperti tak terlalu asing. “Saya sepertinya mengenal Anda?”

“Betulkah? Saya pun ingin mengatakan itu?”

Tak sering saya mengalami seperti ini. menemukan wajah yang saya kenal tapi tak temu petunjuk tentang siapa pemiliknya. Sebenarnya saya sendiri tak terlalu banyak memiilik kenalan. Kecuali teman kerja dan tetangga, pasti teman lama saat kuliah. Tapi dia sepertinya tak termasuk ke dalamnya.

“Wajah seperti Anda sangat mudah saya ingat, tapi saya tak tahu dimana. Ah, apakah Anda seorang penulis?” tanyanya mendahului penasaran saya.

“Bukan, saya hanya senang menulis saja.”

“Dan sekarang Anda tengah mandeg dalam menulis…?”

Hampir betul. Ah, bagaimana dia tahu. Saya memang senang menulis. Sejujurnya belakangan banyak hal yang ingin saya tulis tentang apapun. Tapi tak satu pun yang berhasil aku tuntaskan dalam beberapa halaman. Selalu gagal. Saya yakin lelaki ini ada hubungannya dengan kemacetan kreativitas saya menulis.

“Suka menulis di Kompasiana?”

Ah, ya! Inilah kuncinya. Saya jadi terpancing kembali mengamati wajahnya. Betul, saya baru ingat wajah ini. Terutama hidungnya, seharusnya saya ingat saat pertama kali melihatnya.

“Ramdhani Nur?” spontannya.

“Ya! Mamar?”

“Betul kawan!”

Ajaib. Luar biasa, walau tetap penuh dengan keanehan. Seharusnya saya tak terlalu kesulitan mengenalnya. Tapi mungkin juga ada yang sangat berbeda dari wajah yang biasa kita lihat di layar komputer dengan penampilan asli seperti ini. Baru dua hari lalu sepertinya kami berbincang via chatting saat dia mengeluarkan keresahannya atas kemacetan kreativitas. Hal yang saya juga amini terjadi pada diri saya sendiri. Entah kenapa kami berada di sini, entah apa yang bisa kami pikirkan hal yang mungkin terjadi pada kami selanjutnya.

“Kenapa kita di sini?”

Mamar menghela napas. Ada kepasrahan dan penasaran yang bercampur. “Tidak diberitahu kah?”

“Tidak!”

“Mungkin ini hal yang sudah kau pikirkan…”

“Apa itu?”

“Karena kita sama-sama mandeg dalam menulis…”

“Memang kenapa? Apa itu sebuah kesalahan?”

“Entahlah! Mungkin juga.”

“Gila!” saya berdecak. Apa yang salah dengan kemacetan dalam menulis. Toh ide dan impulsivitas otak tidak bisa dipaksakan datang setiap waktu. Apa lagi untuk penulis-penulis amatiran seperti kami. Mesti ada pemakluman. Kalau pun ini sebuah penghukuman. Tak ada yang berhak melakukannya atas nama apapun.

“Mungkin kau tahu siapa lelaki yang menyeretku tadi? Bisa jadi dia pelaku utamanya,” tanyaku kemudian.

“Dia memang pelakunya.”

“Kau kenal?”

“Lebih dari kenal. Saya yang menciptakannya?”

“Menciptakan? Siapa? Samtari???”

Mamar mengangguk. Sudah kuduga seharusnya. Kisah seperti ini sesungguhnya sudah dia alami. Dia pernah bercerita betapa tokoh ciptaannya merasuk menyata. Menggugat dan menghukum ketakberdayaannya mengekspresikan ide dalam tulisan. Saat itu saya sedih mendengarnya, dan saya tak menyangka saya akhirnya masuk dalam ketakberdayaannya juga.

“Kenapa dia menghukumku juga?”

“Mungkin karena kau pun sama mandegnya denganku.”

“Tapi aku tidak bertanggung jawab langsung padanya.”

“Entahlah. Sepertinya pun dia tidak sendiri?”

“Benarkah?”

“Kemarin aku lihat ada seorang perempuan yang datang kemari. Entah itu tokoh ciptaan siapa.”

Aku menunduk sedalam-dalamnya. Tentang keanehan ini, tentang kegilaan ini, entah kenapa mesti bercampur dalam satu pikiran yang seharusnya berakhir tenang. Itu akan sangat merusak. Dalam kondisi wajar pun, pikiran saya sudah tak mampu menata lagi apa-apa yang ingin saya tulis. Entah apa yang terjadi kemudian jika otak ini dibebani lagi dengan kegilaan ini.

Mata kami tiba-tiba teralih pada pintu ruang yang berderit kasar. Akan ada seseorang yang muncul dari balik sana. Entah siapa, entah akan memperlakukan kami apa.


****

Cirebon, 28 September 2011

*tolong dibantunya… simsalabin jadi apa prok prok prok

Cerita terkait Aku dan Samtari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun