Perintahnya membuat saya berhenti bergerak. Saya merasa ada jemari yang menjulur pada wajah saya, kasar dan bergetar. Entah apa yang dia lakukan tapi perlahan ikat penutup mata itu lepas dari kepala saya.
“Buka matamu pelan-pelan!”
Ada sesuatu yang menusuk ketika sedikit demi sedikit cahaya terbentuk di pelupuk mata saya. Saat sudah terbuka lebar, baru kusadari ternyata ruangan ini sama remangnya dibanding saat mata saya tertutup ikatan tadi. Tapi sorot mata saya langsung bisa menemukan wajah lelaki di hadapan saya.
"Terima kasih,” entah bagaimana ini bisa terjadi, tapi sepertinya kami memiliki keheranan yang sama saat mata kami menemukan wajah di hadapan kami masing-masing. Seperti tak terlalu asing. “Saya sepertinya mengenal Anda?”
“Betulkah? Saya pun ingin mengatakan itu?”
Tak sering saya mengalami seperti ini. menemukan wajah yang saya kenal tapi tak temu petunjuk tentang siapa pemiliknya. Sebenarnya saya sendiri tak terlalu banyak memiilik kenalan. Kecuali teman kerja dan tetangga, pasti teman lama saat kuliah. Tapi dia sepertinya tak termasuk ke dalamnya.
“Wajah seperti Anda sangat mudah saya ingat, tapi saya tak tahu dimana. Ah, apakah Anda seorang penulis?” tanyanya mendahului penasaran saya.
“Bukan, saya hanya senang menulis saja.”
“Dan sekarang Anda tengah mandeg dalam menulis…?”
Hampir betul. Ah, bagaimana dia tahu. Saya memang senang menulis. Sejujurnya belakangan banyak hal yang ingin saya tulis tentang apapun. Tapi tak satu pun yang berhasil aku tuntaskan dalam beberapa halaman. Selalu gagal. Saya yakin lelaki ini ada hubungannya dengan kemacetan kreativitas saya menulis.
“Suka menulis di Kompasiana?”